Beberapa jam yang lalu kita telah menyaksikan tim nasional (timnas) sepakbola kebanggaan kita kalah dengan skor 0-2 lawan Thailand. Kecewa pasti, prestasi yang berpuluh tahun ditunggu akhirnya tidak terjadi. Namun, diberbagai media hampir tidak ada yang marah, tidak ada yang mengumpat, apalagi memaki. Sebagian besar masih memberikan rasa bangganya, sebagian besar memberikan rasa maklumnya, sebagian besar memberikan rasa respek terhadap timnas yang gagal.
Saya yakin, besok sepulangnya para pemain timnas sepakbola ke tanah air tetap mendapatkan sambutan yang hangat. Kecil kemungkinan ada tulisan yang menjelek-jelekkan pemain atau pelatih. Hal ini bukti nyata masyarakat kita cerdas. Masyarakat Indonesia memiliki nilai-nilai yang luhur. Masyarakat Indonesia tidak menjadikan obsesi menjadi sukacita. Masyarakat kita bukanlah yang hanya mengedepankan hasil semata. Masyarakat kita menghargai kejujuran dan ketulusan pemain timnas yang terlihat dari semangat juangnya.
Sikap mayoritas bangsa Indonesia seperti ini pada hakekatnya anomali dengan sebagian pihak sepakbola Indonesia. Bayangkan, hanya di Indonesia, klub sepakbola menolak mengirimkan pemainnya untuk bermain di Timnas. Mereka lebih mementingkan perebutan gelar juara liga lokal dibandingkan dengan kebanggaan berkontribusi untuk negeri ini. Mengutip media online pikiran rakyat “ "Kompetisi tetap lanjut, tapi tiap klub hanya akan melepas maksimal dua pemain untuk bergabung ke Timnas dan ini merupakan hasil kesepakatan klub-klub," kata CEO PT GTS, Joko Driyono dalam jumpa pers usai pertemuan”.
Jika kelakuan buruk klub-klub ini terjadi didaratan Eropa, maka dapat dipastikan kualifikasi piala dunia atau piala Eropa akan kehilangan daya tariknya. Untungnya UEFA masih memiliki wibawa yang kuat untuk mengendalikan para kapitalis sepakbola yang berbaju klub. Fakta ini menunjukkan siapa sebenarnya yang peduli dengan sepakbola bangsa, apakah klub peserta atau masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia telah lama bersabar denganulah klub, bahkan yang lebih ironis di piala AFF 2012, pemain harus ngumpet untuk membela timnas, karenaklub tidak mengizinkan.
Apresiasi yang diberikan untuk para pejuang timnas pantas diberikan. Timnas yang tidak diperhitungkan, bahkan pada awalnya tidak terlampau banyak menarik perhatian wartawan mampu berjuang sampai di final. Pada akhir laga, tidak banyak media tidak banyak memngomentari negatif para pemain atau pelatih. Tidak muncul penilaian sapuan pemain belakang fahrudinlah yang menyebabkan gol untuk Thailand, atau mengapa si A yang dimainkan atau mengapa si B yang harus keluar. Semuanya menerima hasil dengan penuh rasa hormat.
Sepakbola Indonesia selalu mendapatkan tempat terbesar di lubuk hati masyarakat Indonesia. Meskipun miskin prestasi, masyarakat tetap antusias. Meskipun lebih banyak diwarnai konflik pengurus, masyarakat tetap datang ke stadion. Hal begitu saja masyarakat sabar, apalagi, untuk menerima timnas yang diboikot klub gagal di final.
Terima kasih Kurnia Mega meskipun gawangmu kebobolan sebanyak 13 kali kebobolan dan mendapat predikat tim yang paling banyak kebobolan. Terima kasih Boaz, walaupun sebagai seorang striker baru bisa menyumbang dua gol bersih dalam tujuh pertandingan. Dan terima kasih pelatih, yang dengan tetap tegar menghadapi boikot klub sepakbola untuk mendapatkan pemain yang diinginkan. Timnas tetap jaya dan berkualitas meskipun klub sepakbola di negeri ini gulung tikar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H