Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kartini Bukan Soal Emansipasi

22 April 2017   00:38 Diperbarui: 22 April 2017   10:00 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Setelah menonton film kartini karya Hanung Bramantyo, Saya menaruh apresiasi yang tinggi untuk interpretasi baru kisah Kartini. Selama ini sosok Kartini dianggap sebagai wujud pejuang emansipasi, Kartini dianggap sebagai penganut pemikiran fenisime Belanda. Kartini hanya ditempatkan soal perlawanan perempuan terhadap dominasi laki-laki. Karenanya, peringatan hari Kartini identik dengan peragaan busana kebaya.  

 Namun, film berhasil menempatkan Kartini melebihi dari apa yang dianggap selama ini. Kartini bukanlah pejuang perempuan, melainkan pejuang keadilan. Kartini bukan soal perempuan ingin sama dengan lelaki, melainkan bagaimana perempuan dapat menjadi tidak sama. Kartini bergerak bukan karena kepentingannya diganggu, melainkan wujud empati atas kebodohan masyarakatnya.

 Kartini bukan menentang suami, bapaknya, atau ibunya. Kartini menantang pemikiran masyarakat, khususnya pemikiran para perempuan. Kartini bukan follower kaum feminisme Belanda, tetapi memberikan alternatif pemiiran yang khas Indonesia.

 Dalam film ini, Kartini tidak bisa lepas dari pemikiran Belanda, buku dan interaksi memberikan pengaruh atas penyempurnaan pemikirannya. Namun berbeda dengan feminisme Belanda, Kartini mempertimbangkan ajaran moral masyarakat Jawa, yaitu peran sebagai pangkuan, yang mampu menciptakan kesetimbangan. Feminisme berorientasi pada dua sisi yang berhadap-hadapan. Kartini menempatkannya sebagai dua hal yang saling dicari kesetimbangan.

 Pemikiran feminisme Belanda yang berorientasi pada mazhab utilitarian menyebabkan orientasi pada upaya menghasilkan output dan outcome perempuan. Kartini mengajarkan bahwa kesempatan bukan untuk memperoleh sesuatu, tetapi lebih kepada memberikan. Karenanya, niatan wanita melakukan sesuatu bukan sebagai pencapain prestasi, melainkan wujud bekti (bakti).

 Film ini mengajarkan bahwa menjadi sesuatu bukanlah tujuan, melainkan cara. Kartini tidak mempermasalahkan artikelnya dibuat atas nama bapaknya. Kartini menerima kenyataan melepas beasiswa dan menerima keputusan pernikahan yang ia tidak sukai.

Meskipun Kartini menerima menjadi istri untuk kemudian dikenal sebagai Raden Ayu bukan sebagai kekalahan atau ketundukan.Ia merasa menang, karena keputusan itu wujud baktinya kepada ibu kandungnya, wujud modal untuk menjalankan apa yang dipikirkan.  

Justru yang aneh, saat ini perayaan Kartini disimbolkan dengan kebaya, disimbolkan dengan pencapaian tokoh wanita. Jauh dari ajaran Kartini. Kartini yang mengorbankan eksistensinya demi perjuangan yang esensi. Kartini bukanlah soal menjadi apa, bukan soal perempuan mampu berkarir.

 Kedangkalan dalam memahami  Kartini membuat misinterpretasi dan miskonsepsi. Kartini sudah kadung dianggap tokoh feminis. Kartini sepantasnya ditempatkan dalam berbagai sosok. Ia pejuang pendidikan, ia pejuang ekonomi dan ia pejuang keadilan.Saya bersyukur film ini memberikan alternatif interpretasi soal ajaran moral. Ajaran yang bukan soal hitam putih. Film yang dapat menambah media pembelajaran untuk anak kuta, mahasiswa bahkan para orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun