Saat belajar ilmu bisnis di perkuliahan, kita dikenalkan berbagai pemikiran bahwa pelaku bisnis harus mampu menciptakan barang dan jasa yang memilikinilai tinggi. Hal ini dilakukan tuntutan agar kiranya dapat memenangkan kompetisi. Dasar pemikirannya adalah konsumen menentukan pilihannya atas seluruh penyedia (produsen) barang dan jasa berdasarkan perbandingan antara nilai yang ia terima dengan biaya yang harus dikeluarkan. Oleh karena itu,, selain barang yang berkualitas, produsen harus membuat produk dengan efisien serta mendistribusikan barangnya agar konsumen mudah mendapatkannya.
Contoh-contoh yang diberikanpun menunjukkan kemampuan melakukan kapitalisasi agar menghasilkan skala ekonomis untuk menciptakan barang bagus dan harga yang kompetitif. Dapat ditebak, organisasi-organisasi bisnis besarlah yang menjadi teladan, karena dengan kemampuan modalnya ia mampu mengakses teknologi, sehingga dapat menciptakan barang dan jasa yang baik dengan biaya yang jauh lebih kecil. Selain itu, organisasi tersebut mampu membayar orang-orang terbaik agar bisa lebih produktif.
Pada hakekatnya penggunan terminologi rasionalitas adalah ukuran pandangan yang menempatkan manusia dalam mengkonsumsi produknya hanya berorientasi pada kepuasaan individu dalam menkonsumsi produk semata. Konsumen dianggap sebagai pihak yang hanya memiliki orientasi dirinya saja. Hal ini dilakukan  semata-mata untuk simplifikasi dalam menggunakan rasio. Hal ini dikarenakan menjadi sangat  kompleks,  jika memasukkan hal lain selain aspek kebutuhan terhadap produk. Melalui cara ini, maka rasionalitas dapat dipergunakan, yaitu manusia akan menentukan pilihannya berdasarkan nilai rasio perbandingan benefit dengan biaya. Karenanya, konsumendianggap rasional, jika nilai rasio tersebut menjadi ukuran.
Melalui cara berpikir di atas, maka dengan gampang mengkategorikan konsumen  tidak rasional. Lantas, bagaimana sebenarnya yang terjadi di dunia nyata. Di Korea Selatan, warganya tetap membeli produk Korea meskipun harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan produk Jepang. Aksi boikot produk tertentu, karena dianggap melanggar nilai-nilai yang dianut, seperti turut serta membantu penjahat perang, merusak lingkungan, mengeksploitasi anak kecil. Hal-hal tersebut dalam rasionalitas bukanlah termasuk benefit, karena yang melatar belakangi tidak mempengaruhi dan dipengaruhi oleh kualitas (nilai) produk yang dihantarkan.
Apakah masyarakat seperti itu dapat dipengaruhi oleh iklan atau tools marketing yang umumnya dipelajari di perguruan tinggi dan dunia konsultan?. Apakah dengan mudah mengatakan  bahwa kelompok ini tergolong anti kemapanan, sehingga tidak perlu untuk dhiraukan. Atau menggunakan kekuasaan melalui instrumen hukum.
Dalam komunikasi sosial media seperti sekarang ini gerakan social power melalui dunia online dapat ,menjadi tsunami yang tak mungkin dihadang, meskipun oleh buzzer. Ia begitu massif dan berdaya tahan tinggi. Ia tidak bergeming, meskipun keputusannya merugikan  secara material. Orang Korea tetap tidak akan memilih produk Jepang, meskipun dompetnya lebih terkuras. Aksi boikot dapat serta merta dijalankan, meskipun ia harus melupakan kenimkmatan produk yang ia konsumsi hari-hari.
Pada hakekatnya konsumen itu irrasional, karena ia tidak bisa melepas kebutuhan produknya menjadi satu kebutuhan tunggal yang tidak teraffiliasi dengan kebutuhan lainnya. Cara pandang bahwa manusia membutuhkan kombinasi produk yang dibatasi budget line sudah tidak lagi relevan. Melainkan konsumen mengkonsumsi seperangkat produk  untuk kebutuhan dirinya secara terintergrasi dengan dibatasi oleh sumberdayanya.
Saat manusia membeli handphone, maka ia juga menjadikan kebutuhan berkomunikasi sebagai kebutuhan berinteraksi sosial. Saat ia membeli produk koran dari asongan, ia tidak sedang mencukupkan kebutuhan informasi semata, namun ia juga mencukupkan kebutuhan untuk membantu orang lain.
Dalam konteks bernegara, seyogianya kita mengelola konsumen seperti ini. Korea menanamkan spirit untuk mengalahkan Jepang agar membuat warganya semakin produktif. Meskipun barang Jepang lebih baik dibandingkan dengan produk Korea, tetapi nilai-nilainya memaksa ia harus mengabaikannya. Di Indonesia, program untuk mendukung produk dalam negeri seperti cinta produk dalam negeri menjadi kehilangan maknanya, karena didasari oleh rasionalitas, yaitu ternyata produk dalam negeri lebih  baik dan lebih murah. Akibatnya, jika tidak lebih baik atau lebih murah, maka wajar masyarakat memilih produk asing.
Dalam pemikiran konsumen irrasional, ia memasukkan berbagai pertimbangan dalam melakukan keputusannya. Ia menjadikan kehidupan orang lain menjadi kebutuhannya. Pada akhirnya, itu akan menjadi nilai-nilai baginya. Hingga akhirnya yang menjadi hakim untuk membeli produk bukanlah nilai rasio benefit dengan cost, melainkan nilai-nilai yang dialnggar. Oleh karena itu, aksi boikot dapat dengan segera menjalar, dan sulit untuk kembali.
Kemudian hari ilmu bisnis tidak lagi hanya berfokus pada manusia sebagai makhluk individui, melainkan juga sebagai makhluk sosial sekaligus sebagai makhluk relijius. Ia berjalan secara integratif, yang membedakan hanya mana yang lebih  dominan. Karenanya, dibutuhkan sensisitifitas kehidupan sosial budaya masyarakat, bukan sekedar rasionalitas yang ditentukan secara sempit.Â