Istilah abdi Negara masih menjadi kata yang saya kagumi untuk memberikan label kepada manusia Indonesia yang menjadi aparatur Negara Indonesia tercinta. Terkait dengan hal tersebut, maka apresiasi yang tinggi untuk mereka adalah wajar. Akan tetapi, seiring dengan waktu abdi negara semakin terpinggirkan dari kamus apresiasi masyarakat kita. Salah satu contoh penangkapan PNS di kementerian Perhubungan. Berita tentang sinis PNS begitu populer, namun tidak untuk hal-hal baiknya. Seorang petugas dirjen pajak yang dibunuh oleh wajib pajak di Sumatera Utara tidak serta merta membuat masyarakat mengapresiasi abdi negara.
Fenomena ini mengingatkan saya dengan teori organisasi paling populer sepanjang masa, yaitu teori birokrasi Weber. Weber menempatkan organisasi sebagai kumpulan wewenang, tanggung jawab dan pembagian kerja. Dalam organisasi setiap pihak bertindak sebagai satu kesatuan organisasi, oleh karena itu kehidupan organisasi yang terjadi di masa lampau juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Ritual, keyakinan, prosedur dan budaya organisasi harus dipahami untuk dapat merefresentasikan organisasi sebagai sebuah kesatuan, yang sering disebut dengan istilah KORPS.
Dalam kamus bahasa Indonesia, Korps diartikan sebagai himpunan orang (badan, organisasi) yang merupakan satu kesatuan. Dalam pemahaman Korps, setiap tindakan seseorang dianggap sebagai perwakilan Korps. Oleh karena itu, menjadi keliru ketika seseorang beralibi menyatakan prilakunya tidak mewakili organisasi, tetapi dalam kapasitas pribadi. Padahal, begitu seseorang berorganisasi, maka ia tidak lagi sebagai makhluk bebas, kecuali ia keluar dari organisasi. Berdasarkan pemikiran ini maka akan dianggap aneh, jika ada seseorang menjadi pengurus puluhan organisasi. Hal ini tentunya dapat berpotensi menjadi perbedaan posisi antara satu organisasi dengan organisasi lainnya. Maka wajarlah istilah tidak boleh rangkap jabatan menjadi sesuatu yang harus diperhatikan.
Oleh karena sifat Korps yang begitu kaku, akibatnya banyak pemimpin organisasi menganggap Korps sebagai rintangan dalam menjalankan organisasi di jaman yang kekinian. Fakta berikut dapat memberikan indikasi, UU ASN (Aparatur Sipil Negara). UU ini tidak hanya mengubah istilah pengawai negeri sipil menjadi aparatur sipil Negara, namun juga menjadikan para pekerja abdi Negara menjadi pekerja profesional, bukan Korps pekerja Negara. Oleh karena itu, rekrutmennya tidak harus berasal dari pendidikan kedinasan, sehingga ada begitu banyak sekolah kedinasan diubah statusnya, karena pemerintah tidak menjamin akan menerima lulusan sekolah.
Dalam skala yang berbeda menteri Negara BUMN Rini Soemarno membolehkan rekrutmen profesional asing untuk mengisi direksi BUMN, asalkan yang bersangkutan memenuhi standar kompetensi. Hal yang sama dengan pernyataan Gubernur Ahok dalam Kompas 2015 “ Lurah kita programkan menjadi estate manager, jadi lurah sudah seperti pengelola sebuah wilayah,".
Organisasi yang memiliki Korps yang kuat kadangkala membuat pimpinan kesulitan,khususnya bagi pimpinan yang tidak berasal dari Korps atau tidak memahami Korps. Korps dipandang sebagai status Quo yang selalu berbenturan dengan apa yang diinginkan pimpinan. Akibatnya Korps digoyah, lalu dikendalikan dengan modal otoritas. Jika Korps dianggap begitu kuat, maka pimpinan organisasi melakukan serbuan langsung melalui mendatangkan pemain-pemain baru untuk bias memerangi anggota Korps yang dianggap melawan. Dalam istilah umum kita kenal dengan bedol desa, yaitu pemimpin membawa orang-orangnya yang asalnya bukan dari internal organisasi.
Pandangan ini disandarkan oleh berbagai pemikiran berbagai teori, seperti Lawrence and Lorsch (1969) menekankan agar organisasi menyesuaikan dengan lingkungannya. Hal yang sama dinyatakan Chandler (1962), ia menekankan agar organisasi dapat efektif, maka ia harus adaptasi dengan perubahan lingkungan. Pada hal konsep open system sebenarnya adalah antitesa dari teori birokrasi. Hal ini didasari oleh sistem birokrasi membuat organisasi tidak optimal meraih peluang atau menghindari ancaman.
Dalam open system, organisasi dibentuk melalui sub-sub sistem yang lebih luwes, sehingga organisasi dapat secara cepat merespons perubahan yang terjadi. Jadi pada dasarnya penekanannya mengubah pola internal organisasi, bukan mengubah komposisi orang-orang dalam internal. Sifat kemerungsung pimpinan dapat membuat ia teledor, yaitu dengan merekrut orang-orang secara instan untuk mengisi sub-sub sistem yang diinginkan.
Kekeliruan organisasi mengartikan istilah open system sebagai sebuah aliran organisasi barangkali dapat dikaitkan dengan peristiwa Angota BIN di atas. Walaupun setiap orang baru dapat belajar tentang dokumen sejarah Korps, dokumen regulasi, aturan dan lain sebagainya, namun untuk dapat menjadi anggota Korps pengalaman mengalami hidup bersama tidak dapat diabaikan. Doktrin, values, karakter hanya dapat dibaca teks dokumennya, namun tidak dapat dipelajari (learningable but not teachable).
Kekonyolan pegawai Bin bukan lah karena kebodohan atau kelalaian, melainkan itu hanya komunikasi yang ia sampaikan bahwa ia belum menjadi Korps BIN, karena ia hanya mengupload SK pegawai bukan SK Korps. Kembali ke istilah klasik militer, tidak ada kesalahan anggota yang ada kesalahan komandan. Keputusan DPR untuk memanggil hanya Kepala BIN sangatlah tepat.
Obsesi yang begitu besar untuk mewujudkan target, apalagi dengan tekanan isu reshuffle acapkali membuat seorang pemimpin organisasi melupakan hal-hal yang telah terjadi di dalam organisasinya. Mengutip pandangan negarawan Soekarno “ Janganlah melihat ke masa depan dengan mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala dari pada masa yang akan datang”. Korps suka tidak suka hadir dan hidup dalam organisasi, ia merupakan alat yang mumpuni untuk pemimpin menjalankan organisasi. Jika ada benturan dengan Korps, bisa jadi hanya karena ketidakpemahaman.