Kita semua tahu, kalau ekonomi di negeri kita lebih condong ke ekonomi pasar. Meskipun memiliki corak yang khas dengan landasan filosopo Pancasila, namun kedekatan kita ke sistem pasar lebih besar dibandingkan dengan sistem komando. Hanya saja, negara masih memiliki peran sentral dalam hal keberpihakan terhadap yang lemah dalam hal ini usaha kecil serta sumberdaya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Â
Biar bagaimanapun sistem ekonomi pasar memiliki potensi untuk tidak tercapainya pemikiran ideal yang diinginkan. Pergeseran pelaku ekonomi dari Pemerintah kepada masyarakat memberikan peluang terjadinya penumpukan sumberdaya. Eksistensi korporasi menyebabkan pihak yang disebut masyarakat menjadi bukan sosok manusia lagi. Korporasi terhindar dari yang namanya  sifat manusia seperti mati, degeneratif dan lain sebagainya. Akibatnya, korporasi dapat menjadi sosok monster dalam kehidupan ekonomi pasar. Ia dapat menjadi hegemoni pelaku pasar, bahkan ada kalanya ia dapat menjadi pengganti pemerintah sebagai pihak yang mengontrol pasar.
Namun, bias ini perlu dicari jalan keluarnya. Hegemoni yang berlebihan (umum disebut monopoli) akan mengingkari sistem ekonomi pasar itu sendiri. Hegemoni korporasi dapat mengontrol kehidupan ekonomi, yang merupakan hal dasar ditolak dalam sistem pasar. Karenanya, di berbagai negara muncul pemikiran untuk dibentuk upaya intervensi negara untuk mengendalikan hegemoni pelaku usaha.
Pada dasarnya, munculnya hegemoni pelaku usaha tidaklah mutlak salah, dalam beberapa hal hal tersebut menjadi normal. Namun, ada anggapan seperti dalam pemikiran Harvard bahwa pelaku yang begitu  dominan dalam pasar akan cenderung melakukan kekuatan yang ia miliki untuk mendikte perekonomian. Sehingga, struktur harus dibuat tidak tergantung dengan segelintir. Anggapan ini sah-sahsaja. Hal ini dilatar belakangi oleh kehadiran ekonomi pasar, yaitu trauma tindakan semena-mena pelaku oligopoli di Inggris. Bahkan dalam pendekatan ini, penguasaan pasar baik oleh pelaku usaha swasta ataupun pemerintah seyogianya dihindari, karena pasar akan cenderung sehat, jika banyak yang terlibat di dalamnya.
Pandangan berkembang, sikap skeptis Harvard diadu  oleh pandangan Chicago. Mereka meyakini, bukan realita dominasi pasar yang menjadi masalah, melainkan barrier to entry yang menjadi pokok terjadinya persaingan tidak sehat. Dalam pandangan ini, semua pihak seyogianya memiliki hak yang sama untuk eksis di pasar. Apakah itu pemain lama atau pemain baru. Asumsi yang mendasari adalah jika memang di pasar ada opportunity,maka pihak lain akan masuk kepasar. Jika pemain besar melakukan pengambilan laba yang besar, maka memberikan peluang pemain yang lain untuk meraih pasar, termasuk pemain baru. Hal yang terpenting adalah bagaimana sistem dan aturan tidak menghambat masuknya pemain baru.
Berdasarkan kenyataan diatas, diketahui bahwa subjek utama dari kehidupan ekonomi pasar telah bergeser dari pemerintah menjadi pelaku usaha. Pendelegasian peran kehidupan ini merupakan konsekuensi dari pembagian porsi kekuasaan. Karenanya, dampak dari perilaku menyimpang yang dilakukan pelau usaha menjadi sama bahayanya atau bahkan lebih dibandingkan dengan apa yang dilakukan oleh pemerintah.
Dalam realitanya, diberbagai negara yang sistem ekonomi pasar lebih mapan, perhatian terhadap perilaku menyimpang yang dalam istilah umum disebut dengan persaingan tidak sehat menjadi konsen negara. Negara tidak lagi disibukkan dengan penyimpangan boriokrasi pemerintah atau aparat hukum. Negara sudah berhasil membonsai dampak yang ditimbulkan. Karenanya, negara seperti Amerika Serikat lebih sering mengamandemen regulasi tentang persaingan usaha dibandingkan dengan UU Pidana atau hukum tata negara.
Bagaimana dengan Indonesia, meskipun KPK dan reformasi di Polri dan Jaksa sudah belasan tahun dilaksanakan, namun sepertinya  konsenterasi negara masih berkutat dengan penyimpangan aparaturnya. KPK yang seharusnya berada dalam fase kematian (karena lembaga ad-hoq) ternyata belum ada tanda-tanda menuju kesana. Bahkan ada semangat masih memperbesar KPK sampai ke daerah. Karenanya, energi dan sumberdaya untuk memperbaiki penyimpangan dari sisi pelaku usaha masih minim.
Mari kita lihat satu persatu. Bandingkan lembaga KPPU dengan KPK. Jelas laksana bumi dan langit. Dari sisi anggaran, sisi status kepegawaian dan dukungan civil societymasih milik KPK. Bahkan, meskipun bukan lembaga ad-hoq seperti KPK, KPPU juga diterpa isu untuk dilemahkanbahkan sampai dibubarkan. Marwah KPPU masih sangat ketinggalan. Padahal, dampak dari kontribusi KPPU dalam wujud materi baik yang diterima keuangan negara melalui denda dan keuntungan materil konsumen Indonesia KPK masih kalah.
Tidak munculnya konteks kejahatan dalam lingkup persaingan usaha seyogianya menjadi perhatian bersama. Dalam sistem ekonomi pasar yang kita anut, gurita pelaku korupsi pada dasarnya tidak sebanding dengan kejahatan pelaku pasar. Meski perang dengan korupsi masih tetap belum turun tensinya, namun saatnya kita masuk ke babak perang yang memiliki peran yang jauh lebih besar. Perang terhadap perilaku pasar yang tidak sehat.
Dibutuhkan dukungan publik, apakah itu lembaga pendidikan, lembaga sosial maupun lembaga agama agar kiranya persaingan tidak sehat merupakan musuh bersama. Perilaku persaingan tidak sehat mengancam eksistensi sesama pelaku usaha dan masyarakat sebagai konsumen. Sudah saatnya, ada mata kuliah persaingan tidak sehat dalam sekolah bisnis. Sudah saatnya muncul studi kasus persaingan tidak sehat sebagai wujud pelanggaran etika kebangsaan. Sudah saatnya muncul fatwa ulama tentang hal tersebut dalam tafsir ayat suci. Semoga perang ini menjadi semangat baru bagi kita rakyat Indonesia.