Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora featured

Penalaran Sederhana Aksi Boikot Produk

21 Desember 2016   13:27 Diperbarui: 11 Desember 2017   11:06 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Boycott | © Pierre (Rennes)/Flickr

Belakangan kita mendengar tentang larangan untuk membeli produk tertentu atau berbelanja di toko modern. Sepintas, kegiatan ini dilakukan dengan penuh emosional, sepintas kegiatan ini melanggar nalar, karena  mengajak orang untuk menghindari produk tertentu dengan landasan yang bukan terkait dengan produk. Ajakan yang masuk ke wilayah non rasional dalam pemasaran yang kita kenal. Selama ini, produk dihimbau tidak dibeli karena didasari oleh resiko dampak buruk atau efek samping.

Himbauan untuk tidak mengkonsumsi atau yang sering dikenal dengan boikot pada dasarnya bukan ditujukan pada produk, melainkan pada subjek produk.  Dalam era digital seperti sekarang ini, konsumen tidak lagi hanya diposisikan berinteraksi dengan produk, konsumen berinteraksi dengan korporasi. Akibatnya, konsumen tidak lagi bergantung dengan komunikasi tentang produk, tidak lagi bergantung dengan ekuitas merk dari produk. Konsumen juga menilai siapa korporasinya. Tindakan korporasi tidak lagi hanya diikuti sebagai tindakan pemasaran produk, melainkan juga  tindakan hubungan masyarakat dalam keseharian produk. Fenomena ini yang memberikan warna pada semakin berkembangnya aktifitas komunikasi perusahaan atau dalam struktur divisi corporate communication.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka segala tindak tanduk korporasi menjadi hal yang krusial, termasuk sikap di luar hal bisnis. Boikot dapat menyasar korporasi  yang turut serta bertindak yang bertentangan dengan moral tertentu. Konsumen tidak lagi berfikir membeli produk, tetapi bertransaksi dengan korporasi.

Apakah salah aksi boikot produk?, tentunya itu masuk dalam ranah hukum positif  yang berlaku di setiap negara. Namun, boikot pada dasarnya hal yang lumrah, sebagai wujud ekspresi tindakan yang dilandasi nilai-nilai tertentu. Boikot karena landasan terluka karena nilai yang diyakini memiliki pengaruh yang jauh lebih besar dibandingkan dengan boikot karena arogansi. Boikot produk berbasis nilai akan memberikan militansi yang kuat, ia tetap konsisten meskipun kegiatan tersebut merugikan secara materil. Ia tidak lagi memperhitungan untung dan rugi secara materil, karena baginya nilai-nilai yang ia yakini jauh di atas kepentingan materi.

Boikot merupakan alat kontrol sosial atas segala tindakan yang dianggap semena-mena. Ketika mekanisme hukum dianggap tidak lagi mampu memberikan saluran, maka aktifitas boikot dapat dukungan yang lebih  besar. Oleh  karena itu, korporasi saat ini tidak lagi hanya berbicara aktifitas bisnis dalam bingkai hubungan industrial, melainkan ia juga harus mampu menjaga hubungan yang bersifat universal. Masyarakat tidak lagi hanya sebagai sapi perahan, yang hanya dianggap kemampuan daya beli, atau resiko menganggu  usaha. Korporasi harus mampu berempati terhadap nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. 

Boikot pada dasarnya juga banyak menjadi alat perjuangan. Kita mengenal orang Korea menggunakan kebencian terhadap Jepang sebagai nilai-nilai untuk membangun negaranya. Kebencian yang pada akhirnya terjadi pemboikotan produk. Kita mengenal bagaimana Gandhi memboikot produk Inggris, karena dianggap sebagai pelanggar nilai-nilai kebenaran yang ia yakini.  Di Indonesia kita juga mengenal boikot produk Amerika oleh presiden Soekarno, sebagai bentuk sikap atas tindakan pemerintahan Amerika yang dianggap melanggar kedaulatan Indonesia. 

Cara pandang boikot bukanlah dalam ranah rasionalitas bisnis. Ia ada dalam rasionalitas kemanusiaan. Ia berada dalam ruang manusia sebagai makhluk di muka bumi. Oleh karena itu, tidaklah perlu reaksi berlebihan dari pihak yang tidakmendukung boikot. Walaupun demikian, mungkin saja ada aksi boikot yang tidak jujur, untuk hal seperti ini, akan terlihat dengan sendirinya, karena boikot tanpa landasan nilai-nilai universal hanyalah bentuk ekspresi kebencian,yang pada akhirnya masyarakat akan meninggalkannya. Karena masyarakat tidak mau menjadi pihak yang membantu orang lain menjalankan kebenciannya.

Sebagai sebuah tindakan kesetimbangan, boikot juga memberikan contoh konkret bagaimana masyarakat melakukan koreksi untuk menuju kehidupan masyarakat yang berkeadilan. Boikot merupakan pergerakan lempeng bumi untuk  mendapatkan keseimbangan. Ketidakseimbangan yang terjadi karena sentralisasi kemakmuran dan kesejahteraan pada pihak-pihak tertentu. Karen melalui penciptaan kesetimbanganlah, mayoritas masyarakat dapat diakomodir. Jadi percuma melakukan serangan balik oleh korporasi dengan mendengung-dengungkan karyawannya yang katanya kelompok menengah ke bawah sebagai pihak yang merasakan dampak boikot.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun