Menteri pendidikan dan kebudayaan yang baru menawarkan program yang menggegerkan masyarakat Indonesia, yaitu full day school. Lantas, pro dan kontra menyambut kebijakan tersebut, bahkan ketua DPR sudah mengingatkan menteri berhati-hati mengeluarkan kebijakan yang memiliki dampak luas. Kritik yang bertubi-tubi membuat keyakinan sang menteri berkurang.
Ironis, jika menteri baru membatalkan kebijakan yang baru ia sampaikan. Sebelum menyoal substansi kesesuaian konsep full dau school, hal yang perlu dicermati keputusan ini dalam bingkai kebijakan publik. Walaupun keputusan tersebut secara meteril diwujudkan dalam bentuk keputusan menteri, tetapi program full day school menyangkut jutaan guru, ratusan ribu bangunan sekolah, puluhan juta orang tua dan siswa.
Kebijakan publik harusnya menggunakan istilah yang berimplikasi resistensi yang rendah, sehingga sikap menghindari sikap apriori yang menerimanya. Pak menteri menggunakan istilah full day school yang diartikan sebagai sekolah seharian. Pilihan istilah yang bombastis dan tidak sesuai dengan substansi kepentingan publik didalamnya.
Istilah ini tidak mengkomunikasikan keterkaitan tujuan pak menteri untuk menanamkan karakter, istilah ini menciptakan jarak antara program dengan pengalaman realitas yang pernah ada di Indonesia. Pada hakekatnya program ini sudah banyak dijalankan oleh sekolah-sekolah di Indonesia. Bahkan jauh sebelumnya, Indonesia sudah memposisikan sekolah bukan sebatas pendidikan keilmuan, tetapi juga menyangkut pembentukan karakter. Lihat saja ungkapan ki Hajar Dewantara berikut “ Pendidikan itu harus diarahkan kepada manusia seutuhnja, djagan hanya kepada intelek dan materi (sjrat lahir)” (Dewantara:1967).
Istilah surau di Padang, Taman oleh Kihajar, Padepokan, perguruan, pesantren pada hakekatnya menggunakan pendidikan yang memasukkan karakter di dalamnya. Pendidikan yang tidak memisahkan antara science dan karakter. Pendidikan yang isinya bukan sekedar kurikuler, namun jugaextra kurikuler.
Hal yang kedua perlu dicermati, pak menteri mengabaikan stakeholder lain dalam menyelengarakan pendidikan. Pendidikan bukanlah monopoli pemerintah. Oleh karena itu, pemerintah tidak boleh merampas partisipasi orangtua, masyarakat, lingkungan dalam mendidik siswa. Full day school harusnya merupakan opsi, bukan ketentuan. Orang tua, siswa berhak ikut atau tidak kegiatan pendidikan di luar kurikuler. Oleh karena itu, kita hanya mengenal wajib belajar, bukan wajib ikut pendidikan. Pembelajaran dari ketidakberhasilan pramuka membentuk karakter dikarenakan kegiatan ekstrakurikuler tersebut merupakan hal yang wajib, sesuai dengan Permendikbud no 62 tahun 2014 pasal tiga ayat tiga.
Hal ketiga yang tidak kalah pentingnya, kebijakan publik haruslah didukung oleh internal di kementerian pendidikan dan kebudayaan, baik dari sisi sumberdaya maupun regulasi. Apakah pak menteri sudah menanyakan kepada guru, kepala sekolah, dinas pendidikan atau pihak-pihak lain yang terlibat dalam penyelenggaraan. Sampai detik ini, kita belum mendengar dukungan pihak guru, asosiasi sekolah, jangan sampai ini bukan keputusan menteri, melainkan hanya obsesi pribadi.
Terlepas kaitan dengan kebijakan publik di atas, secara substansi argumentasi yang melatar belakangi program ini seperti dibandingkan dengan anak-anak dibesarkan pembantu tidaklah relevan, argumentasi ini tidak sesuai dengan realita, karena mayoritas orang Indonesia tidak memiliki pembantu. Kekhawatiran adanya tindakan yang liar di luar sekolah juga tergolong mengada-ada, faktanya tawuran terjadi di jam-jam sekolah. Potensi anak-anak didik agama di luar sekolah yang menyimpang justru menunjukkan pemikiran yang memaksakan. Orang tua jauh lebih tahu dan lebih memahami mana pendidikan agama yang menyimpang dan mana yang tidak.
Pada akhirnya, saya tidak berposisi untuk menolak fullday school, namun menjadikannya wajib bagi anak didik merupakan tindakan yang tidak terdidik, karena pada dasarnya pendidikan itu memerdekakan peserta didik. Masyarakat dan siswa harus diberi pilihan untuk ikut atau tidak, bukan dengan cara kekuasaan. Sekolah hanyalah salah satu dari berbagai alat untuk membentuk karakter, dan bukan sebagai prasayarat. Karakter merupakan sesuatu yang tidak dapat diajarkan namun dapat dipelajari, dan mempelajarinya harus didasari kemauan siswa itu sendiri dan jika ia masih di bawah umur ditentukan oleh orang tua siswa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H