Mohon tunggu...
Guntur Saragih
Guntur Saragih Mohon Tunggu... -

Saya adalah orang yang bermimpi menjadi Guru, bukan sekedar Dosen atau Trainer.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ndak Masalah Ayah Lebih Dulu Mohon Maaf, Anakku

5 Juli 2016   07:18 Diperbarui: 5 Juli 2016   12:20 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Lebaran tahun lalu, Saya menelepon keluarga Saya di Medan, kebetulan karena satu dan lain hal saya tidak mudik. Saya memohon maaf kepada orang tua mulai dari Ayah/Ibu dan adik perempuan Saya.  Ternyata  telepon Saya memang ditunggu-tunggu karena kebiasaan orang tua saya melakukan permohonaan maaf sebelum berangkat sholat Ied. Saat menelpon Ayah Saya dan Ibu saya seperti biasa. Namun saat berbicara dengan adik saya, adik saya mengatakan nantin saja bermaafan, karena Ia belum minta maaf kepada kedua orang tua Kami.

Saya merenung sejenak, Adik saya bersikap seperti itu karena pemikiran tersebut merupakan kebiasaan yang lumrah diterima di masyarakat Kita. Kembali mengingat kejadian di jam 6 pagi, saya secara spontan meminta maaf kepada kedua buah hatiku Savina dan Evita. Si Kakak bertanya  kenapa Ayahnya yang terlebih dahulu meminta maaf, hal yang sama juga dikatakan oleh adiknya.

Lalu saya menjawab, yang bersalah bisa siapa saja, bisa Ayah, ibu atau anak-anak. Jadi urusan minta maaf lebih dahulu juga bisa siapa saja. Anak saya mengatakan gurunya selalu mengatakan anak kecil harus meminta maaf terlebih dahulu kepada orang tua.

Saya merenungi omongan tersebut, dan berfikir, bukankah kita orang tua seringkali semena-mena untuk memaksa anak diposisi yang bersalah. Padahal ia merupakan fungsi dari kesalahan kita prang tua mendidik. Logika sederhananya orang tua memiliki peluang untuk menjadikan anak baik ataupun tidak baik, karena anak seperti kertas bersih yang salah satunya orang tua ikut serta mengisinya. Berbeda dengan anak kecil kemungkinan dapat membuat orang tuanya menjadi baik atau sebaliknya. Dalam pepatah inggris dikatakan “ My Child is me and more”.

Lantas, mengapa jika anak yang merupakan hasil dari salah satunya fungsi dari ajaran orang tua melakukan kesalahan, maka Ia dituntut untuk meminta maaf lebih dahulu dibandingkan orang tuanya. Bukankah kesalahan anak tersebut sedikit banyaknya disebabkan kesalahan kita mengajar dan menjaganya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya orang tua juga meminta maaf atas  segala yang menimpa anaknya.

Dalam kehidupan sehari-hari, mari kita berhitung mana yang lebih banyak melakukan kesalahan.  Siapa yang paling sering marah, yang paling sering lalai dengan janji, yang lalai dengan kewajiban. Anak kita salah, maka otoritas yang dimiliki orang menegurnya untuk mengembalikan ke jalann yang benar. Sehingga kesalahannya berhenti atau berkurang.  Akan tetapi, jika kita melakukan kesalahan kepada anak, sulit rasanya kita menerima masukan dari anak, atau bahkan si anak tidak memiliki kekuatan untuk menegur orang tua.

Berdasarkan kenyataan ini, Saya berjanji kebiasaan saya tersebut akan terus dilanjutkan, artinya Saya tidak akan membuat regulasi bahwa anaklah yang harus terlebih dahulu meminta maaf. Artinya, siapa saja yang merasa harus meminta maaf, maka ia dapat melakukannya secara langsung.

Mudah-mudahan saja kebiasaan ini menjadi sesuatu yang lebih berguna. Praktek meminta maaf merupakan teladan bagi anak-anak kita. Hal ini merupakan wujud dari keikhlasan manusia untuk mengakui kesalahannya dan secara ksatria memohon maaf.  Mengutip Petuah guru saya dahulu “ Orang yang meminta maaf lebih tinggi dibandingkan yang memberikan maaf ”.  

Bagaimana mungkin anak dapat dengan ikhlas menerima aturan untuk selalu memohon maaf kepada Ayah/Ibunya, jika Ayah/Ibunya tidak pernah berinisiatif lebih dahulu, bukankah sebagai manusia biasa keduanya dapat berbuat salah. Oleh karena itu, saya juga memohon maaf, jika melalui tulisan ini saya melakukan kesalahan. Selamat saling bermaaf-maafan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun