Seorang guru di Kabupaten Sidoarjo yang bernama Sambudi mendadak terkenal. Pak Sambudi guru yang dituduh mencubit anak didiknya di sekolah mendapat dukungan publik, tidak hanya rekan sesama guru di Sidoarjo, berbagai tempat juga melakukan hal yang sama. Akan tetapi, berbagai pandangan hanya berkutat dalam hal pantas atau tidak guru dihukum penjara yang atau teganya orang tua sang anak membawa ke ranah hukum.Â
Jalur peradilan yang dipilih orang tua siswa merupakan cara untuk memperoleh keadilan atas  apa yang dialami anaknya tersayang. Akan tetapi orang tua tidak memperhitungkan konsekuensi bagi anak tercintanya. Apakah jika guru dipenjara, maka anak akan menjadi lebih baik, atau sebaliknya anak mendapatkan dunianya seperti sebelum kejadian.Â
Empati masyarakat dan media sangat besar kepada Pak Sambudi, Bahkan, muncul pernyataan yang  berlebihan seperti mencubit siswa bukan perlakuan yang tidak baik,  dulu siswa juga pernah ditampar, dipukul. Ada juga yang menganggap siswa pantas mendapat perlakuan tersebut, karena  tidak melakukan sholat. Polemik ini menjadi tidak mencerdaskan, bahkan di masa yang akan datang mempengaruhi norma kehidupan bersekolah.Â
Di Pengadilan, Pak Sambudi menyatakan bahwa ia tidak mencubit, melainkan hanya mengelus pundak siswa. Apa yang bisa ditarik dari kesaksian ini. Pertama jika beliau jujur, maka tuntutan menjadi kabur, karena pokok perkara tidak sesuai. Jika beliau berbohong, artinya ia merasa tindakan mencubit  hal yang tidak benar.Â
Permasalahan mendasar apakah guru mencubit bersalah?. Dengan tanpa keraguan Penulis menyatakan itu salah, alasan apapun tidak dibenarkan guru melakukan hukuman fisik. Oleh karena itu, jika benar Pak Sambudi melakukan itu, ia harus menerima konsekuensinya. Pertanyaan berikutnya, apakah konsekuensi tersebut harus melalui meja pengadilan? Dengan yakin Penulis mengatakan tidak.Â
Peradilan merupakan eksistensi negara di dalam kehidupan bermasyarakat luas. Oleh karena itu, yang diberlakukan standar publik yang tertuang dalam regulasi dari yang tinggi sampai yang rendah. Akan tetapi, hubungan antara guru dan siswa bukan bersifat umum (publik), ia harus ditempatkan sebagai hubungan dalam bingkai profesi  guru. Siapakah yang pantas mengadilinya, tidak lain tidak bukan adalah lembaga profesi itu sendiri, di Indonesia organisasi tervesar adalah PGRI ( Persatuan Guru Republik Indonesia). Â
PGRI harusnya bukan sekedar membela personal guru, melainkan ia harus juga membela martabat seluruh Guru berdasarkan asas kepatutan. Sebelum ke pengadilan, PGRI harusnya melakukan pengadilan etik terhadap anggotanya. Â Melalui pengadilan etik ini, orang tua siswa dan Pak Sambudi mendapatkan kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalan dalam koridor pendidikan, tanpa harus hingar bingar di media. Jika Pak Sambudi terbukti mencubit, maka PGRI dapat memberikan hukuman yang sepantasnya. Seorang guru yang baik lebih takut dihukum oleh profesinya dibandingkan dengan hukuman pengadilan. Jika Pak Sambudi tidak bersalah, maka ia tidak menanggung beban malu dari berbagai pemberitaan selama ini. Manfaat utama lainnya adalah jika bersalah maupun tidak bersalah martabat guru dapat dijaga, sehingga tidak menggurangi respek siswa ke guru.Â
Hal yang terpenting, jangan sampai ada anggapan Guru boleh mencubit, Apapun alasannya, tindakan fisik tidak boleh dilakukan sebagai bentuk hukuman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H