SbD harus mengoptimalkan efisiensi melalui desain. Penggunaan energi terbarukan, teknologi modern dan ramah lingkungan harus diintegrasikan.
Seringkali yang diusulkan ialah solusi "mahal" seperti "green roof" dan "solar panel." Sebaliknya, teknologi tepat guna seringkali disisihkan.
SbD harus menyadari bahwa proyek - proyek arsitektur dan perencanaan merupakan sistem interaktif yang kompleks dan terkait pada lingkungan sekitarnya.
Seringkali "Green Homes" atau "Green Development" menjadi kompleks eksklusif yang tidak terintegrasi dengan lingkungan sekitarnya bahkan seringkali menyebabkan banjir untuk kawasan sekitarnya.
SbD harus mencari "healthy materials" (material bangunan yang sehat).
Material yang murah seringkali lebih diutamakan dengan mengabaikan sertifikasi ramah lingkungan
SbD harus bertujuan untuk mengurangi "carbon imprints", mengurangi penggunaan material berbahaya, dan dampak kegiatan manusia.
"Carbon Imprints" tidak dikenal secara luas pada supplier bahan bangunan di Indonesia.
SbD terus mengusahakan untuk meningkatkan kualitas hidup, mempromosikan kesetaraan baik lokal maupun global, memajukan kesejahteraan ekonomi.
Kesejahteraan masyarakat lokal seringkali diabaikan. Tukang profesional dari negara lain mulai dipilih untuk solusi yang lebih murah.
SbD mengenal juga keterkaitan lokal dan sistem planet bumi yang mempengaruhi segenap umat manusia.
Sumber bahan bangunan seringkali berasal dari kawasan pedesaan di sekitar kota yang seringkali dirusak oleh eksplorasi bahan bangunan.
Terakhir, SbD juga mendukung pernyataan UNESCO mengenai keberagaman budaya sebagai sumber pertukaran, penemuan, kreativitas sangat diperlukan oleh umat manusia.
Keragaman budaya dan prilaku seringkali tidak diintegrasikan demi tujuan produksi masal.
Kembali kepada aspek keterjangkauan ekonomi, memang untuk menyediakan perumahan bagi kurang lebih 230 juta masyarakat Indonesia merupakan tantangan yang sulit. Keterbatasan lahan, tidak terintegrasinya perencanaan ruang serta lemahnya intervensi Pemerintah terhadap pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah merupakan hambatan utama.
Selain itu 60% populasi Indonesia yang diperkirakan merupakan masyarakat ekonomi menengah dan bawah menghadapi krisis ekonomi beberapa tahun ini. Hal ini menyebabkan rendahnya daya beli mereka untuk "Green and Affordable Homes" atau "Rumah yang Terjangkau dan Berkelanjutan".
Saran - Saran
Pengabaian aspek ekonomi dalam perencanaan dan desain "Green Homes" dapat menyebabkan kegagalan penerapan konsep di atas. Hal ini karena 60% warga Indonesia tidak dapat menjangkau properti tersebut. Sebaliknya penerapan "Green Homes" yang setengah hati juga akan menambah parahnya permasalahan lingkungan yang ada di Indonesia.