Saya, dan mungkin juga Anda, sering bertanya-tanya kira-kira masih adakah hal yang bisa kita banggakan dari negeri kita saat ini? Masihkah sikap gotong royong dan pemakaian Bahasa Indonesia menjadi pemersatu bangsa yang majemuk ini? Masihkah ada kepedulian dalam diri untuk sesama anak bangsa Indonesia ini?
Kondisi masyarakat kita akhir-akhir ini sarat dengan kesulitan hidup dan musibah. Betapa saat ini, sebagian anggota masyarakat benar-benar diuji untuk, maaf, hanya sekadar bisa bertahan hidup, atau yang lebih hebat lagi mempertahankan nilai-nilai luhur yang dipegang selama ini. Di sisi lain, betapa kita ditantang untuk memberikan kepedulian kepada sesama yang membutuhkan, melalui apa yang kita miliki, maupun lewat pekerjaan kita, walaupun itu mungkin ibaratnya hanya setetes air di padang pasir. Atau apakah kita menjadi tidak peduli, serta mengedepankan ego dan kepentingan pribadi, seperti yang akhir-akhir ini dilakukan segelintir oknum sesama kita di "sana".
Masih ada peluang di balik musibah. Saya tidak ragu untuk mengatakan hal ini. Manusia dilahirkan sebagai pemenang. Dan, di balik setiap kesulitan ada kemudahan. Asalkan kita tetap sabar, tabah, dan menjalankan satu demi satu pekerjaan dengan cara terbaik menggunakan segenap potensi secara total. Sementara hasilnya kita pasrahkan pada Tuhan. Setiap waktu mari kita syukuri nikmat Tuhan. Saat saya bisa menulis ini, ataupun saat Anda bisa membaca tulisan ini, maka itu artinya kita masih merasakan nikmat kesehatan dari-Nya.Kita tidak perlu menyalahkan siapapun atas semua hal yang menimpa Indonesia yang tercinta ini. Yang lebih bijaksana adalah menanyakan mulai dari diri kita, apa yang telah kita perbuat. Apabila setiap orang masing-masing mengambil bagian untuk introspeksi diri dan melakukan perubahan paradigma itulah perjuangan mulia dalam hidup kita saat ini.
Kesulitan hidup tak boleh membuat kita kehilangan mata hati.Kasus-kasus penipuan, dan jenis kriminalitas lain yang merugikan sesama, kebanyakan tak bisa lepas dari tekanan hidup masyarakat. Jangan biarkan diri terjebak dalam kebimbangan akibat situasi sulit yang kita hadapi, yang sesungguhnya itu hanyalah pernak-pernik atau tahapan dalam perjalanan kehidupan. Jangan sampai kita memvonis keadaan itu sebagai suratan takdir, dan menganggap: aku tidak beruntung, nasibku jelek, aku orang gagal, dan lebih parah lagi menganggap kondisi tersebut sebagai bentuk “ketidakadilan” Tuhan. Bisa mempertahankan pikiran dan sikap yang terus positif merupakan sumbangan tak ternilai pada proses perbaikan kondisi masyarakat saat ini. Kesulitan jangan sampai menurunkan tingkatan moral kita. Kita tentu tidak mau diperbudak uang. Hidup dikendalikan oleh uang. Hidup yang memiliki pola rutin yaitu bangun, bekerja, membayar tagihan. Kita harus jadi yang dikejar uang bukan mengejar uang dan punya banyak waktu luang.
Dalam berbagai kesempatan, kritik demi kritik terus menyoroti kinerja pemerintah. Tak masalah selama kritik itu ditujukan untuk memberi masukan positif bagi pemerintah. Seperti permintaan kepada pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja baru dalam mengantisipasi PHK karyawan oleh perusahaan. Selain itu, pemerintah juga dituntut agar segera menangani ekonomi biaya tinggi khususnya bagi industri dalam negeri, dan upaya pemberantasan korupsi dan tindakan ilegal yang merugikan negara.
Meski tertatih-tatih, upaya pemerintah untuk memperbaiki keterpurukan patut didukung oleh segenap lapisan masyarakat. Kita harus optimis, terlebih beberapa hasil dari langkah perbaikan itu mulai tampak. Dalam hal pemberantasan korupsi misalnya, bisa kita lihat sepak terjang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hampir menjadi pemandangan/berita biasa seorang yang dulunya pejabat kini harus menghadapi tuntutan di pengadilan. Kita tentu berharap para pelaku akan jera, karena rasa malu. Sementara dalam hal penyediaan lapangan kerja, berbagai ajang penerimaan calon pekerja telah digelar Depnakertrans bekerja sama dengan perusahaan-perusahaan penerima lowongan pun yang selalu sangat dibutuhkan para pencari kerja.
Kita harus percaya akan keseriusan pemerintah dalam mengatasi masalah demi masalah di negeri kita. Penyimpangan-penyimpangan yang mungkin masih terjadi, harus kita yakini suatu saat, akan terbuka. Sebab, bagaimanapun pintarnya seseorang menutupi, kebusukan pasti akan tercium (terbongkar) juga.Siapa menabur, dia menuai, begitu kata pepatah. Siapa menabur kebaikan, maka kebaikan pula yang akan dipetiknya. Ini sesuai ajaran agama yang mengajarkan kejujuran dan berbuat baik pada siapa pun. Sungguh naïf jika kita menggadaikan masa depan keluarga kita hanya untuk kekayaan/materi semata.
Kebanggan kita atas negeri kita Indonesia, tidak hanya sebatas membanggakan kebhinekaan dalam persatuan, dengan satu bangsa, satu bahasa nasional Indonesia. Kebanggaan itu mestinya perlu kita realisasikan dengan tindakan nyata. Anda, saya dan kita semua tentu dapat dan perlu memberikan dukungan kepada pemerintah, pemimpin yang telah kita pilih bersama. Mungkin tak perlu terlalu muluk-muluk, dan jangan berpikiran untuk melakukan perubahan besar. Kita bisa memulainya dari lingkungan keluarga. Kita tekadkan untuk membangun karakter generasi penerus Indonesia mulai dari hal yang paling mendasar, yaitu mendidik pola pikir dan sikap anak-anak di rumah.
Kemandirian untuk mendidik anak-anak kita, tidak 100% menyerahkan kepada para pengajar/guru di sekolah. Kita ajari mereka tentang kejujuran, tidak menuhankan materi/dunia. Sehingga di masa depan, anak-anak kita tidak pernah sepeser pun memakai uang negara/rakyat, melakukan manipulasi, dan hal-hal kotor lainnya. Pendidikan dimulai dari anak-anak, bertanggung jawab jujur dan selalu di jalan Tuhan. Dengan kemandirian seperti ini, kita tak perlu mencemaskan pendapat sementara pihak mengenaisistem pendidikan nasional kita yang perlu dirombak. Sistem pendidikan nasional perlu dirombak secara radikal, sehingga memiliki orientasi yang sanggup menciptakan manusia berakhlak mulia dan memiliki jiwa kewirausahaan. Perguruan tinggi mendidik para mahasiswanya untuk mandiri sebagai wirausaha. Setelah lulus biasanya mereka pantang menjadi pekerja sebagai orang gajian, meskipun usaha yang dirintisnya mengalami jatuh bangun.
Saat ini, media massa berpeluang memberikan kontribusi yang sangat besar untuk membangun semangat dan motivasi masyarakat di tengah-tengah kemerosotan moralitas, serta mengokohkan persatuan dan kebersamaan di tengah-tengah kondisi yang penuh gejolak. Tuntunan rating dan aspek komersial memang sulit dihindari, namun harus tetap diupayakan ada bagian untuk merealisasikan kepedulian pada masyarakat kita yang sedang menderita. Produser acara dituntut untuk bisa menyelipkan pesan-pesan moral kepada masyarakat di dalam program acara-acaranya.Kalangan perusahaan selain melakukan upaya meningkatkan citra dan penjualan, amatlah positif jika diiringi dengan aktivitas-aktivitas sosial yang benar-benar tepat sasaran. Komunikasi iklan produknya pun jangan tidak terkesan komersial, tapi juga diselingi pesan bijak, apakah itu tentang keakraban hubungan keluarga, rasa solidaritas, maupun kepedulian. Segenap unsur dalam masyarakat harus bertekad untuk membangun dan bangkit dari keterpurukan ini untuk masa depan Indonesia yang lebih baik.
Beruntunglah kita jika kondisi sulit justru memacu kreativitas kita. Salah satu bentuk kreativitas itu misalnya menumbuhkan pemikiran untuk bisa mandiri dalam berusaha. Dengan merintis usaha sendiri, minimal kita bisa mengurangi satu pesaing di antara jutaan pencari kerja di negeri tercinta ini. Bahkan bukan tidak mungkin kita bisa mengajak orang lain untuk bekerja sama dengan usaha yang Anda rintis. Dengan merintis sebuah usaha, Anda bisa menentukan gaji (penghasilan) sendiri, bebas dan tidak terbatas. Selain itu tidak terikat jam kantoran, dan bebas mengaplikasikan ide-ide.
Jangan selalu berpikir, untuk berusaha kunci awalnya adalah uang. Pemikiran ini penting untuk dimiliki di tengah krisis finansial, apalagi mengingat, untuk meminjam modal dana dari bank pun rasanya saat ini perlu sangat dipertimbangkan mengingat suku bunga yang masih tinggi, di samping faktor kepercayaan dan nama baik kita di mata bank yang bersangkutan. Kita bahkan bisa memulai suatu usaha tanpa modal uang sama sekali, misalnya dengan sistem titip jual (konsinyasi). Kuncinya adalah keberanian untuk memulai usaha. Keberanian yang penuh optimisme. Banyak orang di negeri ini yang kaya ide tapi miskin keberanian. Jika uang, tenaga (keterampilan) dan cara/sistem bisa diupayakan menggunakan dari orang lain, maka faktor penting dalam memulai usaha kita perlu punya reputasi (nama baik), dan ini akan selamanya menjadi kunci kesuksesan usaha. Kita harus mau berkonsentrasi dan tekun menjalaninya usaha yang kita uang tampil beda (tidak ikut-ikutan). Dengan mencari pembimbingan yang tepat, kita bisa merintis usaha mandiri yang akan mewujudkan impian-impian kita.
Untuk meraih sukses, seorang pelaku usaha harus berani bermain dengan risiko, bahkan mengubah risiko menjadi peluang. Risiko yang harus diambil adalah risiko yang telah diperhitungkan dengan matang, melakukan kalkulasi cermat mengenai prospek usaha yang akan ditekuni. Kedewasaan seorang pelaku usaha amat ditentukan oleh sebarapa tegar ia menghadapi tantangan-tantangan yang datang. Ia tak mudah putus asa meski jatuh berkali-kali. Ketika jatuh, ia segera berdiri dan melihat masalah yang dihadapinya sebagai jalan menuju kesuksesan berikutnya. Risiko baginya adalah bibit kesuksesan bukan musibah. Sikap luhur seperti itu bukan saja sangat bermanfaat untuk diri Anda dan usaha yang tengah Anda geluti, tetapi juga bisa menjadi teladan bagi orang-orang di sekitar Anda. Semangat hidup yang Anda pancarkan dapat membangkitkan motivasi sesama kita yang saat ini sedang mulai membangun masa depan yang lebih baik.
Pertanyaan penutupnya adalah mau di manakah Anda berperan pada keluarga/masyarakat? Selamat berinstropeksi....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H