Sekali lagi kami temukan fakta/bukti! Ternyata orang lebih cenderung melihat, menyadari, dan mengingat pelayanan yang remeh temeh dibanding pelayanan/fasilitas yang besar. Salah satu contoh kejadian mengingatkan kami akan hal itu, dimana saya ikut tim penjemputan dan pemberangkatan rombongan trip ke luar negeri dari daerah-daerah. Saya harus bangun pagi pukul 03.00 untuk berangkat dari rumah menuju bandara, antar jemput, dan pulang hampir pukul 10 malam.
Kami (cuma berdua) sudah sepakat untuk tidak kecolongan dalam melakukan penjemputan di bandara ini mengingat mereka datang dari berbagai daerah dan penerbangan. Berdiri berjam-jam, memegang plang/papan nama (wah.. kita ini pasang iklan loh logo perusahaan kalau begini, canda saya pada teman), dari pagi hingga ke malam hari di bandara tentulah merupakan perjuangan fisik dan pikiran yang cukup melelahkan. Ini kami lakukan 2 hari berturut-turut. Untunglah penjemputan berlangsung lancar, kecuali ada satu orang ibu-ibu yang hampir naik taksi karena tak terlihat dan tak menggunakan atribut yang kami kenali.
Entahlah kalau bagi Anda yg sering trip ke luar negeri... Bagiku, mendapat trip gratis ke luar negeri, tentulah merupakan penghargaan/fasilitas (dan merupakan bagian dari pelayanan) yang luar biasa SEKALE! Terlebih mereka diantar jemput dan mendapat akomodasi saat di titik keberangkatan/kedatangan (Jakarta), berupa tket domestik pulang-pergi dan penginapan (hotel). Tapi apakah itu sudah cukup memuaskan bagi mereka?? Ternyata belum!! Mereka terus menerus menghubungi kami per telepon menanyakan hal-hal yang dibutuhkannya, bahkan hingga ke kebutuhan air minum mereka di hotel (Whats . . . @#$%??).
Di tengah kelelahan dan mendera, kami diberitahu ada komplain melalui SMS yang membuat kami terperangah. Kami dibilang kurang koordinasi dan merupakan tim yang paling jelek dari tahun-tahun sebelumnya. (Fasilitas trip gratis ke luar negeri ini dijalankan tiap tahun dengan tujuan negara berbeda tiap tahunnya). Paling tidak 2 orang yang kami tangkap memberikan komplain keras kepada kami. Mereka komplain tentang konsumsi yang terlambat dan melupakan seseorang yang vegetarian.
Kami diingatkan dengan kasus ini. Customer, atau orang yang kita layani, tidak akan dan tidak akan pernah melihat bagaimana kami berjibaku sebelum memberikan pelayanan itu. Mereka hanya akan melihat apa yang terjadi di hadapan mereka. Mungkin pepatah pelanggan adalah RAJA memang benar adanya kalau begitu... Untuk melayani, kita dituntut untuk memakai empati, memahami latar belakangnya dan melihat dari sisi pelangga, sementara sang Raja ya ndak harus gitu.... Ini sebuah pandangan yang perlu kami luruskan, khususnya bagi pelanggan/customer kami yang notabene sudah menjadi keluarga besar dengan kami.
Saya sering sharing dengan teman sejawat dan mengibaratkan orang yang kita layani itu seperti kita memberi makan kepadanya. TIdak cukup hanya diberi nasi yang banyak (misal 2 piring), tapi juga perlu lauknya, sambal, bahkan kecap manisnya, sebagai pelengkapnya. Jika trip ke luar negeri dengan segala fasilitasnya (tiket domestik bolak-balik ke titik embarkasi) dan akomodasi adalah ibarat NASI-nya, maka penjemputan yang tepat waktu, makan yang tepat waktu adalah LAUK PAUK-nya.
Jelas kejadian ini menjadi bahan evaluasi bagi tim. Kami harus lebih baik dan lebih detail dalam melayani mereka. Namun, di balik itu, kami juga merasa getir, karena ternyata pemahaman pelanggan (customer) kami atas kemitraan yang sinergi ternyata masih dianggap sebagai hubungan raja dan pelayannya. Padahal sinergi yang kami kembangkan selama ini adalah pelayanan yang didasari pada hubungan kemitraan sejajar, lebih sebagai SAHABAT.
Pemberian pemahaman tentang hubungan sabagai sahabat ini tentu agak sulit karena itu berarti akan mengubah paradigma mereka dan menjadi lebih sulit bila mereka adalah pelanggan/customer yang sudah lama.
Mereka memang berhak mendapatkan pelayanan yang baik dan cenderung sempurna, tapi sebagai SAHABAT mereka juga harus memandang kami sepantas mungkin, terhadap keterbatasan kami, dsb, sabagaimana layaknya seorang sahabat yang saling memahami dan penuh tenggang rasa. . . Dan seorang sahabat tentu akan tidak melupakan plus menghargai pemberian yang besar, serta memberi toleransi atas hal-hal (kesalahan) kecil yang dilakukan sahabatnya...
Jika untuk Anda, pelanggan itu raja atau sahabat??
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H