Kosakata revolusi kini kembali populer. Beberapa negara di Timur Tengah dan Afrika terkena dampak lanjutan krisis politik di Tunisia dan Mesir. Tumbangnya rezim Zine al-Abidine ben Ali dan Hosni Mubarak memompa semangat juang para demonstran jalanan di Aljazair,Yaman,Mesir,Yordania, Bahrain, Iran dan Libya. Suksesnya revolusi Tunisia dan Mesir menginspirasi proses konsolidasi oposisi dan gerakan radikal revolusioner. Satu hal menarik dari peristiwa revolusi di Tunisia dan Mesir adalah pelibatan situs jejaring sosial seperti Facebook dan Twitter sebagai alat persuasi, diseminasi, sekaligus konsolidasi kekuatan para demonstran.Salah seorang demonstran kenamaan Mesir yang juga eksekutif pemasaran Google,Wail Ghonim, secara tegas menyebut revolusi Mesir sebagai Revolusi 2.0.Hal ini mengingatkan intensifnya penggunaan web 2.0 dalam menciptakan dan mengintensifkan jejaring para demonstran. Generasi Ketiga Dilihat dari perspektif komunikasi politik, hal ini kian menunjukkan eksistensi generasi baru pemanfaatan internet secara intensif dan masif dalam politik. Satu dekade lalu, Blumler dan Kavanagh sebagaimana dikutip oleh Ward & Cahill dalam tulisan mereka, Old and New Media: Blogs in The Third Age of Political Communication,menyebut gejala ini sebagai era kemunculan komunikasi politik generasi ketiga. Generasi pertama banyak memanfaatkan kekuatan face-to-face informal.Generasi kedua bersandar pada penguasaan media-media mainstream seperti televisi, koran, radio, majalah, dan lain-lain sehingga memunculkan adagium “siapa menguasai media maka akan menguasai dunia”. Generasi ketiga pada kekuatan interaktivitas dan basis multimedia yang memungkinkan orang saling bertautan tanpa harus bertemu secara fisik sebelumnya. Revolusi politik memang sudah banyak terjadi di berbagai belahan dunia. Dalam banyak catatan sejarah, optimalnya sebuah gerakan revolusi biasanya karena ada musuh bersama. Sejarah mencatat,namanama seperti Ferdinand E Marcos (Filipina), Mobutu Sese Seko (RD Kongo), Manuel Antonio Noriega (Panama), dan Olusegun Obasanjo (Nigeria), Soeharto (Indonesia) Hosni Mubarak (Mesir), Ben Ali (Tunisia) telah sukses menjadi simbol musuh bersama di negaranya masing-masing. Selain itu, adanya massifikasi isu yang disebar oleh kaum penentang melalui berbagai saluran media massa. Semua diktator seperti Marcos yang berkuasa di Filipina selama 21 tahun (1965-1986), Soeharto yang berkuasa 32 tahun di Indonesia (1965-1998), Hosni Mubarak yang berkuasa di Mesir 30 tahun dan Ben Ali yang berkuasa di Tunisia selama 23 tahun paham betul bahwa media massa berpengaruh besar sehingga mereka secara sistematis dan terencana menjadikan media sebagai ideological state apparatus (ISA). Kita bisa melihat contoh di Mesir, media cetak seperti Al Ahram, Al Akhbar, dan Al Jumhuriyah serta berbagai stasiun televisi dikendalikan oleh pengaruh Hosni Mubarak. Semula mereka menyebut para demonstran sebagai pengecut dan antek-antek asing. Baru setelah Hosni Mubarak terukur tumbang, media-media mainstream serempak berubah 180 derajat mendukung para demonstran. Karena rawannya media maintream dikuasai oleh rezim diktator dan pemilik modal, media jejaring sosial menjadi saluran yang dianggap tanpa distorsi. Menurut data TechCrunch,Christopher Golda dari Backtype misalnya mencatat terdapat 28 tweet terkirim per detik pada Jumat (14/1) waktu Tunisia. Bahkan Twitter dan Facebook menjadi alat mobilisasi para demonstran. Di Mesir Wael Ghonim memulai gerakan oposisi di Facebook pada Juni 2010.Pada 6 Juni 2010,seorang blogger Mesir bernama Khaled Said tewas mengenaskan karena dianiaya polisi Mesir. Penyebabnya, Khaled mengunduh rekaman video yang memperlihatkan polisi tengah bagi-bagi mariyuana hasil penyitaan di lapangan. Kematian Khaled memicu kohesivitas para pemakai internet lainnya.Saat itu Ghonim membuat akun Facebook”My Name is Khaled Said”.Kemudian Ghonim yang memiliki nama maya ElShaheed membuat akun Facebook baru bernama ”We are All Khaled Said”. Ghonim mengunggah foto-foto Khalid Said dan dalam sekejap Facebook itu memiliki 450.000 anggota. Di grup ”We are All Khaled Said” itu pula Ghonim merencanakan aksi demonstrasi pada 25 Januari. Apa yang digalang Ghonim dan facebookers lain memompa semangat para kaum muda berdemonstrasi di jalanan. Jika revolusi di Cekoslovakia yang menumbangkan rezim Gust-v- Hus-k pada 1989 dikenal sebagai Revolusi Beludru,revolusi di Ukraina tahun 2004 yang melengserkan Leonid Danylovych Kuchma disebut sebagai Revolusi Oranye, maka revolusi di Mesir merujuk pada perkataan Wael Ghonim menyebut gerakannya sebagai Revolusi 2.0. David D Kirkpatrick dan David E Sanger di The New York Times (13/2) mengelaborasi peran sharing informasi di antara para aktivis demonstran Tunisia dan Mesir melalui Facebook. Dari berbagai strategi menghadapi dan bertahan dari serangan petugas keamanan di saat demonstrasi sampai teknik menghindari aksi mata-mata pemerintah. Aktivis Cyber Web 2.0 adalah sebuah penamaan yang diberikan terhadap perkembangan internet generasi kedua yang memungkinkan penggunanya berinteraksi melalui terbentuknya suatu hubungan dan sharing. Contoh web generasi ini adalah Facebook,YouTube,danWikipedia. Menurut Joseph R Dominic, dalam The Dynamics of Mass Communication (2009), internet generasi pertama atau web 1.0 hanya memungkinkan penggunanya sebagai konsumen dari konten internet, sedangkan pada internet generasi kedua para penggunanya bisa membuat atau berbagi konten. Singkatnya, web 1.0 bersifat statis, sementara web 2.0 bersifat dinamis. Interaksi pengguna dan web master tak lagi hanya satu arah. Hampir keseluruhan sistem baru dari interaksi sosial sudah maju, mencakup really simple syndication (RSS feeds), dan penggunaan situs jejaring sosial.Kemungkinan untuk saling berinteraksi inilah yang menyebabkan terjadinya komunikasi intensif di antara sesama pengguna internet untuk tujuan politik seperti penggalangan demonstran. Proses ini yang dalam literatur komunikasi dikenal sebagai computer mediated communication (CMC) atau penggunaan komputer untuk menciptakan, menyampaikan, mengirimkan,menyebarkan, atau menerima pesan-pesan yang dari satu orang ke orang lain baik bersifat one-to-one, one-to-many, many-to-many. Efektivitas media jejaring sosial inilah,yang kemungkinannya tak disadari sejak awal oleh para penguasa diktator mengingat perkembangan teknologi yang tak familier di eranya. Kemunculan aktivis yang memanfaatkan dunia cyber kian menguatkan potensi internet sebagai ruang publik baru yang sama pentingnya seperti Tiananmen Square dalam revolusi di China, Tahrir Square di Kairo Mesir, Semanggi dalam Reformasi 1998 di Indonesia, serta sejumlah tempat bersejarah lain.Sama-sama menyuarakan penentangan dan mobilisasi gerakan oposisi demi tumbangnya rezim otoritarian. Ada dua tipologi aktivis cyber dalam perubahan politik.Pertama, hacktivist dengan gerakannya yang dikenal sebagai hacktivism. Istilah ini dipopulerkan oleh Joel S Hirschhorn dalam Hacktivism for Cyber Democracy. Haktivisme ini merupakan kombinasi keterampilan pemrograman komputer, berpikir kritis, kemarahan, dan kemuakan atas sistem politik baik di sebuah negara atau transnasional. Sosok seperti Julian Assange dan aktivis yang tergabung dalam Wikileaks disebut sebagai contoh tipe ini. Sejak 2006, Assange dkk membobol dan membocorkan dokumen-dokumen rahasia untuk memerangi korupsi dan rezim ketertutupan informasi. Kedua, adalah diseminator yang memosisikan diri sebagai fasilitator informasi politik untuk dibagi ke pihak lain. Harapannya, informasi yang diolah tersebut bisa merangsang berbagai partisipasi politik yang diharapkannya.Sosok Wael Ghonim di Mesir merupakan contoh representatif dari tipe ini. Tren Revolusi 2.0 kini hinggap di Aljazair,Yaman,Yordania,Bahrain, Iran dan mungkin negara-negara lain. Ini memberi pesan bahwa internet akan terus merembes ke berbagai negara, apa pun bentuk rezimnya.(Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Sabtu, 19/02/2011)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H