Mohon tunggu...
Gun Gun Heryanto
Gun Gun Heryanto Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Dosen dan Peniliti Bidang Komunikasi Politik

Selanjutnya

Tutup

Politik

Tren Revolusi 2.0

20 Februari 2011   11:57 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:26 359
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12982030821451802182

Kosakata revolusi kini kembali  populer. Beberapa negara  di Timur Tengah dan Afrika terkena  dampak lanjutan krisis politik  di Tunisia dan Mesir. Tumbangnya  rezim Zine al-Abidine ben Ali  dan Hosni Mubarak memompa semangat  juang para demonstran jalanan  di Aljazair,Yaman,Mesir,Yordania,  Bahrain, Iran dan Libya. Suksesnya  revolusi Tunisia dan Mesir menginspirasi  proses konsolidasi oposisi  dan gerakan radikal revolusioner. Satu hal menarik dari peristiwa  revolusi di Tunisia dan Mesir adalah  pelibatan situs jejaring sosial  seperti Facebook dan Twitter sebagai  alat persuasi, diseminasi, sekaligus  konsolidasi kekuatan para  demonstran.Salah seorang demonstran  kenamaan Mesir yang juga  eksekutif pemasaran Google,Wail  Ghonim, secara tegas menyebut  revolusi Mesir sebagai Revolusi  2.0.Hal ini mengingatkan intensifnya  penggunaan web 2.0 dalam  menciptakan dan mengintensifkan  jejaring para demonstran. Generasi Ketiga Dilihat dari perspektif komunikasi  politik, hal ini kian menunjukkan  eksistensi generasi baru pemanfaatan  internet secara intensif  dan masif dalam politik. Satu dekade  lalu, Blumler dan Kavanagh  sebagaimana dikutip oleh Ward &  Cahill dalam tulisan mereka, Old  and New Media: Blogs in The Third  Age of Political Communication,menyebut  gejala ini sebagai era kemunculan  komunikasi politik  generasi ketiga. Generasi pertama  banyak memanfaatkan kekuatan  face-to-face informal.Generasi kedua  bersandar pada penguasaan  media-media mainstream seperti  televisi, koran, radio, majalah, dan  lain-lain sehingga memunculkan  adagium “siapa menguasai media  maka akan menguasai dunia”. Generasi  ketiga pada kekuatan interaktivitas  dan basis multimedia  yang memungkinkan orang saling  bertautan tanpa harus bertemu  secara fisik sebelumnya.  Revolusi politik memang sudah  banyak terjadi di berbagai belahan  dunia. Dalam banyak catatan sejarah,  optimalnya sebuah gerakan  revolusi biasanya karena ada musuh  bersama. Sejarah mencatat,namanama  seperti Ferdinand E Marcos  (Filipina), Mobutu Sese Seko (RD  Kongo), Manuel Antonio Noriega  (Panama), dan Olusegun Obasanjo  (Nigeria), Soeharto (Indonesia)  Hosni Mubarak (Mesir), Ben Ali  (Tunisia) telah sukses menjadi  simbol musuh bersama di negaranya  masing-masing.  Selain itu, adanya massifikasi  isu yang disebar oleh kaum penentang  melalui berbagai saluran media  massa. Semua diktator seperti  Marcos yang berkuasa di Filipina  selama 21 tahun (1965-1986), Soeharto  yang berkuasa 32 tahun di  Indonesia (1965-1998), Hosni Mubarak  yang berkuasa di Mesir 30 tahun  dan Ben Ali yang berkuasa  di Tunisia selama 23 tahun  paham betul bahwa media  massa berpengaruh besar  sehingga mereka secara sistematis  dan terencana menjadikan  media sebagai ideological state  apparatus (ISA).  Kita bisa melihat contoh di Mesir,  media cetak seperti Al Ahram,  Al Akhbar, dan Al Jumhuriyah serta  berbagai stasiun televisi dikendalikan  oleh pengaruh Hosni Mubarak.  Semula mereka menyebut para  demonstran sebagai pengecut dan  antek-antek asing. Baru setelah  Hosni Mubarak terukur tumbang,  media-media mainstream serempak  berubah 180 derajat mendukung  para demonstran. Karena rawannya media maintream dikuasai oleh rezim diktator  dan pemilik modal, media jejaring  sosial menjadi saluran yang dianggap  tanpa distorsi. Menurut data  TechCrunch,Christopher Golda dari  Backtype misalnya mencatat terdapat  28 tweet terkirim per detik pada  Jumat (14/1) waktu Tunisia. Bahkan  Twitter dan Facebook menjadi alat  mobilisasi para demonstran.  Di Mesir Wael Ghonim memulai  gerakan oposisi di Facebook pada  Juni 2010.Pada 6 Juni 2010,seorang  blogger Mesir bernama Khaled Said  tewas mengenaskan karena dianiaya  polisi Mesir. Penyebabnya,  Khaled mengunduh rekaman  video yang memperlihatkan polisi  tengah bagi-bagi mariyuana hasil  penyitaan di lapangan. Kematian Khaled memicu kohesivitas  para pemakai internet  lainnya.Saat itu Ghonim membuat  akun Facebook”My Name is Khaled  Said”.Kemudian Ghonim yang memiliki  nama maya ElShaheed membuat  akun Facebook baru bernama  ”We are All Khaled Said”. Ghonim  mengunggah foto-foto Khalid Said  dan dalam sekejap Facebook itu  memiliki 450.000 anggota. Di grup  ”We are All Khaled Said” itu pula  Ghonim merencanakan aksi demonstrasi  pada 25 Januari. Apa  yang digalang Ghonim dan facebookers  lain memompa semangat  para kaum muda berdemonstrasi  di jalanan. Jika revolusi di Cekoslovakia  yang menumbangkan rezim Gust-v- Hus-k pada 1989 dikenal sebagai  Revolusi Beludru,revolusi di Ukraina  tahun 2004 yang melengserkan  Leonid Danylovych Kuchma disebut  sebagai Revolusi Oranye, maka revolusi  di Mesir merujuk pada perkataan  Wael Ghonim menyebut gerakannya  sebagai Revolusi 2.0. David D  Kirkpatrick dan David E Sanger di  The New York Times (13/2) mengelaborasi  peran sharing informasi di  antara para aktivis demonstran  Tunisia dan Mesir melalui Facebook.  Dari berbagai strategi menghadapi  dan bertahan dari serangan petugas  keamanan di saat demonstrasi  sampai teknik menghindari aksi  mata-mata pemerintah. Aktivis Cyber Web 2.0 adalah sebuah penamaan  yang diberikan terhadap perkembangan  internet generasi kedua  yang memungkinkan penggunanya  berinteraksi melalui terbentuknya  suatu hubungan dan  sharing. Contoh web generasi ini  adalah Facebook,YouTube,danWikipedia.  Menurut Joseph R Dominic,  dalam The Dynamics of Mass  Communication (2009), internet  generasi pertama atau web 1.0 hanya  memungkinkan penggunanya  sebagai konsumen dari konten  internet, sedangkan pada internet  generasi kedua para penggunanya  bisa membuat atau berbagi konten.  Singkatnya, web 1.0 bersifat  statis, sementara web 2.0 bersifat  dinamis. Interaksi pengguna dan  web master tak lagi hanya satu arah. Hampir keseluruhan sistem baru  dari interaksi sosial sudah maju,  mencakup really simple syndication (RSS feeds), dan penggunaan situs  jejaring sosial.Kemungkinan untuk  saling berinteraksi inilah yang  menyebabkan terjadinya  komunikasi intensif di antara  sesama pengguna internet  untuk tujuan politik seperti  penggalangan demonstran.  Proses ini yang dalam literatur  komunikasi dikenal sebagai computer  mediated communication (CMC) atau penggunaan komputer  untuk menciptakan, menyampaikan,  mengirimkan,menyebarkan,  atau menerima pesan-pesan yang  dari satu orang ke orang lain baik  bersifat one-to-one, one-to-many,  many-to-many. Efektivitas media  jejaring sosial inilah,yang kemungkinannya  tak disadari sejak awal  oleh para penguasa diktator mengingat  perkembangan teknologi  yang tak familier di eranya. Kemunculan aktivis yang memanfaatkan  dunia cyber kian menguatkan  potensi internet sebagai  ruang publik baru yang sama pentingnya  seperti Tiananmen Square  dalam revolusi di China, Tahrir  Square di Kairo Mesir, Semanggi  dalam Reformasi 1998 di Indonesia,  serta sejumlah tempat bersejarah  lain.Sama-sama menyuarakan  penentangan dan mobilisasi gerakan  oposisi demi tumbangnya rezim  otoritarian.  Ada dua tipologi aktivis cyber dalam perubahan politik.Pertamahacktivist dengan gerakannya yang  dikenal sebagai hacktivism. Istilah  ini dipopulerkan oleh Joel S  Hirschhorn dalam Hacktivism for  Cyber Democracy. Haktivisme ini  merupakan kombinasi keterampilan  pemrograman komputer, berpikir  kritis, kemarahan, dan kemuakan  atas sistem politik baik di  sebuah negara atau transnasional. Sosok seperti Julian Assange dan  aktivis yang tergabung dalam  Wikileaks disebut sebagai contoh  tipe ini. Sejak 2006, Assange dkk  membobol dan membocorkan  dokumen-dokumen rahasia untuk  memerangi korupsi dan rezim  ketertutupan informasi.  Kedua, adalah diseminator  yang memosisikan diri sebagai  fasilitator informasi politik untuk  dibagi ke pihak lain. Harapannya,  informasi yang diolah tersebut bisa  merangsang berbagai partisipasi  politik yang diharapkannya.Sosok  Wael Ghonim di Mesir merupakan  contoh representatif dari tipe ini. Tren Revolusi 2.0 kini hinggap di  Aljazair,Yaman,Yordania,Bahrain,  Iran dan mungkin negara-negara  lain. Ini memberi pesan bahwa internet akan  terus merembes ke berbagai negara,  apa pun bentuk rezimnya.(Tulisan ini pernah dipublikasikan di Harian Seputar Indonesia, Sabtu, 19/02/2011)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun