Sejak duduk di bangku sekolah dasar, kita semua pasti sudah belajar bagaimana tata cara berlalu lintas yang baik dengan mempelajari dan memahami rambu-rambu lalu lintas. Kita belajar apa sih lampu merah itu? Lampu hijau? tanda boleh belok kanan, boleh belok kiri, tidak boleh balik arah, dilarang berhenti, dilarang parkir dan masih banyak lagi.
Jakarta sebagai salah satu kota besar dan juga ibu kota negara yang sangat padat baik penduduk maupun tingkat kendaraan bermotornya seharusnya bisa menjadi contoh bagi adik-adik kita yang duduk di bangku sekolah dasar tentang bagaimana rambu-rambu lalu lintas yang mereka pelajari di sekolah itu diterapkan dalam kehidupan nyata. Namun sayangnya, banyak sekali para pengendara kendaraan bermotor di Jakarta tidak dapat mempraktekan bagaimana berlalu-lintas yang baik. Dan ketika budaya melanggar itu sudah dianggap wajar, adik-adik kita yang masih kecil pun akan melihat pelanggaran-pelanggaran itu sebagai sesuatu hal yang wajar.
Dari banyaknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan para pengguna jalan, ada satu pelanggaran yang selalu membuat saya emosi. Pelanggaran itu adalah ketika pengguna kendaraan bermotor baik sepeda motor maupun mobil selalu berhenti seenaknya ditengah-tengah zebra cross yang seharusnya wilayah itu menjadi hak penuh para pejalan kaki.
[caption id="attachment_361332" align="aligncenter" width="300" caption="sumber gambar: rumahpengaduan.com"][/caption]
Zebra cross seharusnya menjadi wilayah yang sama sekali tidak boleh tersentuh para pengguna kendaraan bermotor. Pengguna kendaraan bermotor seharusnya sudah mulai melambatkan laju kendaraannya ketika lampu kuning mulai menyala dan berhenti tepat sebelum berada di garis zebra cross ketika tanda lampu merah menyala. Namun entah apa yang ada dipikiran para pelanggar yang sering kali berhenti ditengah-tengah zebra cross. Dalih apapun yang mereka buat sebagai alasan, pelanggaran tetaplah pelanggaran.
Saya sebagai pengguna transportasi umum di Jakarta sering kali dihadapkan pada kondisi di mana ketika hendak menyebrang jalan, namun zebra cross selalu penuh dengan kendaraan bermotor. Hal ini tentunya bukan hanya mengganggu kenyamanan saya, tapi juga kenyamanan para pejalan kaki lainnya. Mirisnya para pelanggar zebra cross itu seperti tidak memikirkan orang lain yang hendak menyebrang jalan. Para pelanggar itu seolah-olah sedang berada di dalam arena balapan entah apa yang sedang mereka kejar.
Bagi saya, pelanggaran seperti itu adalah bukti dari sikap egois para pengguna jalan, tidak empati, memikirkan diri sendiri. Entah waktu sekolah dasar mereka dulu juga pernah belajar rambu-rambu lalu lintas atau tidak, yang pasti pelanggaran seperti itu sudah mencerminkan jati diri sebenar-benarnya si pelanggar. Bukahkah karakter seseorang bisa dilihat dari cara ia berkendara? Â Saya rasa pendapat ini benar sekali.
Entah apa yang sedang mereka kejar dengan terburu-buru sampai harus melanggar aturan-aturan berkendara di jalan raya. Alasan apapun itu, telat masuk kantor? mengejar setoran? atau mengejar mantan yang mau nikah sama pacar barunya? pelanggaran tetaplah pelanggaran, jangan sampai menjadi budaya dan contoh yang buruk bagi adik-adik kita yang masih kecil.
Rambu-rambu lalu lintas aja dilanggar, apalagi Janji cinta suci sehidup semati. Â #nahlooh..
Jakarta, 23 Desember 2014