Mohon tunggu...
Gunem Priyambada
Gunem Priyambada Mohon Tunggu... -

tukang kopi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sejarahmu Kini

5 April 2014   09:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:03 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Agenda mendesak bangsa istilah yang sering digunakan apabila menemui suatu keadaan yang akan menimbulkan permasalahan. Dapat pula dilakukan ketika kekacuan itu terjadi dan tidak kunjung menemukan solusi terbaik, maka semua terfokus dengan agenda mendesak bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia tempat kita bernaung saat ini sesungguhnya disadari atau tidak sedang mengalami masa “chaos”. Bagaimana tidak ketika melihat pada ketimpangan yang sedang melanda negara bangsa ini sudah mendekati titik omega. Dapat dikatakan omega sebagai lambang akhir dalam abjad Yunani berarti sama halnya pada titik nadir. Ketimpangan kelas sosial misalnya sisi kesejahteraan bisa kita rasakan saat ini. Bukan untuk menuntut kesetaraan total akan tetapi seharusnya tidak terjadi keadaan yang “njomplang” tidak karuan. Bukan saja dari kesejahteraan, tujuan negara yang terangkum dalam preambule UUD 1945 salah satunya mencerdaskan kehidupan bangsa. Apakah sudah mencerminkan bangsa cerdas? Benarkah bahwa ukuran bangsa cerdas dengan banyaknya gedung sekolah dan pendidikan yang mengutamakan hal-hal prestisius. Entahlah...

Saya dalam tulisan ini mencoba mengajak saudara-saudara sekalian untuk menyelami agenda mendesak bangsa seperti apa yang harus disadarkan saat ini. Ada tiga hal di mana dua modal utama ini yang kini mulai melemah karena mulai tidak menyadari pada satu point terkahir. Ketiga hal itu antara lain (1) alam, (2) moral, dan (3) sejarah. Pertama, membahas alam Indonesia sampai ada ungkapan zamrud khatulistiwa untuk menggambarkan keadaannya yang konon subur makmur gemah ripah loh jinawi. Kiranya ungkapan seperti itu sangat pantas apabila menilik kekayaan hayati dan mineral yang ada di bumi nusantara ini. Namun yang terjadi saat ini ungkapan itu tak ubahnya sebuah harapan kosong ketika melihat alam Indonesia. Berbagai kerusakan terjadi akibat eksploitasi yang kurang memperhatikan kelestarian. Diperparah lagi gemarnya bangsa ini percaya saja pada pihak asing sehingga banyak aset alam di negeri ini sedang di eksploitasi besar-besaran dan bangsa ini hanya menikmati secara visual bahkan menyentuh saja sulit. Nasionalisasi aset rasanya sangat diperlukan selain juga harus membenahi aturan dan sistem pengelolaan.

Alam yang membentang ini subur karena masuk dalam lingkaran cincin api sebagai gugusan pegunungan berapi yang setiap saat siap memuntahkan materialnya. Selain itu laut  luasnya dengan lempeng-lempeng samuderanya yang terkadang sekaligus menjadi ancaman. Lalu dibalik sumber daya alam yang melimpah itu ternyata banyak resiko yang juga harus ditanggung oleh penduduknya. Maka jelas sistem peringatan dini seperti kegunungapian, kelautan, penjagaan hutan dari kebakaran, dan lain sebagainya adalah pekerjaan rumah yang menunggu untuk diselesaikan oleh segenap bangsa.

Kedua, moral adalah urusan setiap pribadi manusia dimana ia sebagai sumber untuk bertindak positif. Barangkali bangsa ini sedang kehilangan jati dirinya karena banyak saat ini tindakan-tindakan yang sepertinya kurang bisa diterima akal sehat manusia. Himpitan keadaan dan kesenjangan mungkin menjadi pemicu rusaknya moral ditambah ketidakberdayaan bangsa ini menghadapi dinamika di era global. Informasi keluar masuk bebas tanpa sekat tetapi tidak diikuti dengan pemahaman kemanusiaan Indonesia yang seharusnya penuh gotong-royong dan kebersamaan. Kearifan lokal itu luntur dari pribadi-pribadi bangsa, seolah mereka memiliki pandangan hidup baru dan menganggap kepunyaannya itu barang basi dan kuno. Semua yang luar negeri dianggapnya baik karena mereka dipandang lebih maju padahal benteng terakhir diri adalah jati diri bangsa. Bangga menjadi bangsa Indonesia bukan melulu mempertontonkan simbol-simbol dan meneriakkan kalimat-kalimat yang katanya nasionalis. Kita semua jangan kehilangan ke-Indonesiaan, 500 lebih bahasa dan hampir 2000 suku bangsa menjadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita semua mempunyai suku bangsa berbeda, bahasa lokal yang berbeda namun satu Indonesia. Itulah budaya kita dan disitulah jati diri bangsa ini, maka jangan sekali-kali kalian meninggalkan kekayaan budaya nasional kita.

Ketiga, sejarah nasional Indonesia juga sangat perlu mendapatkan perhatian karena dengan belajar melalui sejarah ini kita akan tahu perjalanan bangsa. Hikayat ,babad, catatan perjalanan, dokumen, dan berbagai sumber sejarah rasanya perlu disusun ulang. Sejarah mengenal historiografi yang sewaktu-waktu dapat berbenah apabila diketemukan fakta, sumber, atau metode sejarah baru untuk menguak sebuah peristiwa. Masa beberapa tahun silam rupanya banyak sejarah di negara bangsa ini yang mengalami rekayasa. Rekayasa sebenarnya boleh-boleh saja dalam sejarah untuk menjaga dan melindungi sesuatu yang dianggap membahayakan. Misal seperti Napoleon Bonaparte walaupun di indonesia cukup dikenal tetapi di Perancis ternyata tidak begitu diakui karena kedekatan tokoh tersebut dengan Italia. Kemudian di Jepang sengaja menyembunyikan beberapa peristiwa di masa perang dunia ke II. Tetapi yang terjadi di negara ini rekayasa sudah sangat keterlaluan sampai kepada mengkultuskan satu orang atu pihak tertentu dan menutup terhadap perspektif yang lain. Memang, kebenaran sejarah hanya bisa terbukti paling jelas yaitu pada si pelaku sejarah. Akan tetapi saking keterlaluan rekayasa itu sampai mengubah dan sengaja menghilangkan fakta sejarah, bahkan diperparah pola pembelajaran sejarah kita hanya sebatas hafalan saja. Sehingga kemauan menguak atau belajar dari sejarah sangatlah minim.

Sebut saja Presiden yang kita kenal SBY sudah pasti banyak yang menyatakan presiden ke-6, rekayasa telah terjadi bahwa seharusnya sudah ada 8 presiden sampai saat ini. Kita melupakan di masa Presiden Sukarno ada peran Presiden Pemerintah Darurat Republik Indonesia Mr. Syarifudin Prawiranegara kemudian di masa RIS ada Mr. Asaat. Syarifudin Prawiranegara sengaja dihilangkan karena dinilai terlibat dalam satu peristiwa yang dikatakan membangkang terhadap pemerintahan. Belum lagi Supersemar, Gerakan 30 September, Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, dan lain sebagainya. Demi kepentingan beberapa elit yang dulu ingin melancarkan misinya sejarah peristiwa itu dibuat satu sudut pandang yang baku. Supersemar sebenarnya memiliki beberapa versi dan yang kita pahami selama ini sangat diragukan kebenarannya. Gerakan 30 September selalu di identikan dengan PKI padahal ada sudut pandang yang seharusnya kita ketahui selain PKI ada sejarah yang menyebutkan Kudeta Angakatan Darat, ada pula yang menyatakan keterlibatan pemimpin negara saat itu. SU 1 Maret 1949 hanya dikenal tokoh seperti Sri Sultan HB IX, Soeharto, jarang yang membahas bahwa serangan itu sesungguhnya sudah menjadi rencana militer Indonesia saat itu. Ini hanya segelintir sejarah kemerdekaan dan pasca kemerdekaan, masih sangat banyak apabila menelaah dari masa sebelum NKRI ini ada kerjaan-kerajaan Nusantara yang wilayahnya sangat luas dan di segani, luput dari pembicaraan kita.

Lucunya sistem pembelajaran yang ada hanya terfokus pada satu peristiwa dari waktu terjadinya dan tokoh. Jarang sekali untuk mendalami kebermaknaan peristiwa tersebut, sampai-sampai konyol sekali ketika ilmu sejarah ini dievaluasi dengan soal pilihan. Sekali lagi sejarah itu bukan ilmu yang pasti karena memiliki berbagai perspektif dan perlu pemaknaan dalam setiap peristiwanya. Sudah saatnya sejarah itu digalakkan untuk dituliskan kembali ataupun didialogkan untuk menambah wawasan kenusantaraan. Tidak cukup belajar di sekolah untuk tahu sejarah, karena terbukti sejarah yang kita dapat saat ini belum mendalam. Dengan itu keadaan alam, moral, sebenarnya ada dalam sejarah tinggal mau atau tidaknya kita sebagai bagian dari negara bangsa ini untuk membuka lembaran-lembaran lalu itu agar tidak terjerumus hal tidak bermanfaat di masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun