Mohon tunggu...
Gunem Priyambada
Gunem Priyambada Mohon Tunggu... -

tukang kopi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan : Apakah Cara Efektif Mengajarkan Moral?

15 Mei 2014   00:46 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Kekayaan dan pangkat memang diinginkan setiap orang. Tapi, bila itu hanya membawa pemiliknya menuju jalan kesengsaraan, lebih baik ditinggalkan saja. Kemiskinan dan kejelataan adalah hal-hal yang harus dijauhi. Namun, apabila tak membawa kamu ke jalan yang rusak, terimalah”

(Maha Guru)

Pendidikan dengan berorientasi title dan ijazah adalah sebuah permasalahan baru. Penggemblengan yang menjadikan seolah-olah title dan ijazah adalah segalanya dibandingkan makana pendidikan itu sendiri. Tujuan pendidikan menjadi sempit yang tidak mencerdaskan malah membodohi secara halus. Akibatnya ajaran moral tak pernah didapatkan selama proses pendidikan berlangsung. Agama, karakter, dan budi pekerti hanya menjadi bagian mengejar title dan ijazah karena orientasi nilai. Bukan pada bagaimana pendidikan termasuk didalamnya agama, karakter, budi pekerti yang membentuk moral sehingga memperbaiki individu yang belajar.

Title  yang diberikan karena ujian pada tingkatan-tingkatan tertentu. Ijazah pada sekolah-sekolah berkisar dari tingkat dasar sampai doktor. Lalu dimana ajaran moral tumbuh, kalau dalam sistem ini hanya kompetitif yang diutamakan dan tentu hanya berpikir untuk lulus saja. Mereka yang lulus berharap penuh mendapatkan suatu kedudukan, kekayaan, pangkat, dan nasib yang lebih baik. Inikah yang diinginkan dalam pendidikan?

Pendidikan membentuk manusia yang seutuhnya dan merdeka dalam pilihan hidupnya. Mengajarkan cinta kasih hubungan sesama manusia dan kewajiban terhadap sesama manusia. Ajaran untuk hormat-menghormati di sekolah dan di masyarakat. Ujian dan mendapatkan ijazah semestinya dipahami menjadi sebuah hadiah bukan tujuan. Tetapi sistem yang sudah kadung mendewakan keduanya hanya bisa dilawan dengan memahaminya dalam diri masing-masing. Tujuan pendidikan adalah belajar segala hal, berlatih segala hal, memahami berbagai problematika, dan mencari solusi nyata. Tidak ada persaingan, cukup kita tidak mengganggu kepentingan orang lain dan menjadi lebih bermanfaat bagi orang lain. Sekolah menuntut kita untuk belajar kemudian mengerjakan ujian dari hasil belajar, tetapi sekali lagi sangat jelas bahwa kehidupan selalu menguji kita dan kita belajar dari hasil ujian itu untuk menjadi lebih baik.

Saya hanya akan mengatakan bahwa dengan sistem yang berlaku saat ini sekolah itu hanyalah pelengkap untuk menjadi manusia seutuhnya, tetapi belajar adalah sarana utama untuk menjadi manusia bermoral. Sekolah hanya dilakukan pada jam-jam tertentu dan belum tentu mendidik. Di luar sekolah banyak sarana belajar tentang kehidupan yang barangkali akan lebih mendidik. Jadilah manusia yang merdeka, dengan sistem seperti ini jangan terjebak pada agungnya ijazah dan title. Belajarlah terus menerus dan jangan menjadi manusia pesimis seolah nasib hanya ditentukan ijazah dan title. Bangsa kita sedang terjebak kecerdasan semu tetapi kurang kecerdasan yang bersumber dari kearifan lokalnya.

Ijazah dan title yang disandang kalau sesuai dengan perilaku dan pribadinya tentu itu sekolah yang berhasil. Tetapi ketika banyak orang yang tidak sekolah malah bisa mengajarkan moral kehidupan, berarti ada yang salah dengan sekolah. Mengapa sekolah-sekolah dan lembaga pendidikan malah mempersempit pemahaman orang, membodohi, membelenggu, dan merampas kemerdekaan. Pernahkah kita berpikir, sesungguhnya bukan mengajarkan yang paling penting tetapi mendidik. Moral bukan diajarkan, yang utama adalah mengaplikasikan sehingga bisa menjadi contoh. Moral hanya bisa didapat ketika kita sudah mantap pada satu ideologi dan memiliki idealisme yang bertanggungjawab. Sistem yang hanya mengutamakan teori yang bertumpuk tapi nol besar sisi aplikasi dan figur tauladan adalah awal sebuah kekacuan. Kita seharusnya bukan menjadi bangsa yang gandrung prestasi individu tetapi bermusyawarat dan berkeadilan bersama. Hati-hati bukanlah pandai saja yang kita butuhkan. Wong pinter iso keblinger!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun