Penurunan angka threshold Pilkada oleh Mahkamah Konstitusi (MK) awalnya dimaksudkan untuk membuka peluang bagi lebih banyak pasangan calon (Paslon) dalam kontestasi Pilkada. Tujuannya jelas: menghindari adanya kotak kosong atau calon tunggal yang melawan opsi "kotak kosong," sebuah kondisi yang dianggap tidak ideal dalam demokrasi karena mengurangi pilihan masyarakat. Namun, meskipun threshold telah diturunkan, kenyataannya masih ada 43 Paslon Pilkada di Indonesia yang melawan kotak kosong. Hal ini menimbulkan pertanyaan: mengapa penurunan threshold tidak otomatis menghilangkan fenomena kotak kosong?
Analisis Penyebab Kotak KosongÂ
Penurunan threshold yang diharapkan mampu mendorong lebih banyak partai atau gabungan partai untuk mencalonkan kandidat ternyata tidak cukup efektif. Fenomena kotak kosong masih terjadi di berbagai daerah, menandakan bahwa masalah ini tidak semata-mata terkait dengan besaran threshold, melainkan lebih kompleks.
Dalam banyak kasus, partai-partai besar yang sudah mengakar di daerah cenderung mendominasi proses pencalonan. Mereka menyusun koalisi yang besar untuk mengamankan kemenangan, seringkali meninggalkan sedikit ruang bagi calon-calon alternatif untuk muncul. Dominasi ini membuat proses seleksi menjadi sangat eksklusif, sehingga calon independen atau calon dari partai-partai kecil sulit untuk ikut berkompetisi.
Kondisi ini diperparah dengan kecenderungan partai-partai untuk membentuk koalisi besar yang hanya mengusung satu pasangan calon. Koalisi semacam ini hampir selalu berhasil mengamankan kemenangan tanpa perlawanan, menciptakan situasi di mana Paslon tunggal harus melawan kotak kosong. Ironisnya, tujuan awal penurunan threshold, yakni meningkatkan kompetisi, justru tidak tercapai.
Dampak dari Koalisi Kecil dan Oposisi Besar
Penurunan threshold juga membawa risiko baru. Jika Paslon terpilih didukung oleh koalisi kecil, sementara oposisi yang tidak berhasil mencalonkan kandidat justru lebih besar, kepala daerah terpilih bisa kesulitan dalam menjalankan tugasnya. Oposisi yang kuat di legislatif dapat menghambat program kerja dan kebijakan kepala daerah, menjadikan pemerintahan tidak efektif.
Â
Kondisi di mana oposisi lebih kuat dari pemerintah berpotensi menimbulkan instabilitas politik. Kebijakan yang seharusnya dijalankan dengan mulus bisa tertunda atau bahkan dibatalkan karena resistensi dari oposisi yang lebih dominan. Ini akan berdampak negatif pada kinerja pemerintahanya ini daerah dan kesejahteraan masyarakat.
Solusi: Pembatasan Koalisi dan Sistem Dua Partai
Sebagai solusi, alih-alih terus menurunkan threshold, lebih baik jika threshold dipertahankan atau sedikit ditingkatkan, namun dengan pembatasan batas atas koalisi. Ini artinya, presentase koalisi yang mendukung satu Paslon tidak boleh melebihi batas tertentu, memaksa partai-partai yang ada untuk membentuk koalisi baru yang lebih seimbang. Dengan demikian, akan lebih banyak Paslon yang bisa muncul tanpa harus menghadapi kotak kosong.
Â
Alternatif lainnya adalah mempertimbangkan penerapan sistem dua partai seperti di Amerika Serikat. Dalam sistem ini, hampir selalu ada dua kandidat utama dalam setiap pemilihan, yang memastikan adanya kompetisi. Sistem dua partai juga dikenal menciptakan check and balance yang lebih efektif antara pemerintah dan oposisi, karena kekuatan politik terdistribusi lebih merata. Namun, penerapan sistem ini di Indonesia memerlukan kajian yang mendalam mengingat konteks politik yang berbeda.
Â
Menerapkan sistem dua partai di Indonesia tentu bukan tanpa tantangan. Salah satu tantangan utamanya adalah resistensi dari partai-partai kecil yang selama ini mendapat ruang dalam sistem multipartai. Selain itu, perubahan sistem politik besar-besaran ini memerlukan dukungan luas dari masyarakat dan elit politik.
Untuk menghindari fenomena kotak kosong dan memastikan pemerintahan daerah yang efektif, perlu diadakan reformasi dalam pembentukan koalisi. Menetapkan batas atas koalisi atau mempertimbangkan sistem dua partai adalah dua opsi yang layak untuk didiskusikan lebih lanjut.
Fenomena kotak kosong dalam Pilkada bukan hanya soal threshold, tetapi lebih terkait dengan keseimbangan politik dan bagaimana koalisi dibentuk. Reformasi dalam hal ini diperlukan agar demokrasi di tingkat lokal dapat berjalan lebih sehat dan kompetitif, dengan pemerintahan daerah yang lebih efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H