Kaesang Pangarep dan istrinya, Erina Gudono, saat ini berada dalam pusaran kontroversi terkait penggunaan jet pribadi dalam perjalanan mereka ke Amerika Serikat. Peristiwa ini bermula dari unggahan di media sosial yang menunjukkan pemandangan dari jendela pesawat, yang diduga merupakan jet pribadi.Â
Unggahan ini ternyata memicu reaksi keras dari masyarakat, yang menganggap tindakan tersebut sebagai bentuk pamer kekayaan atau bahkan penghindaran pajak.
Sebagai figur publik baru, Kaesang dan Erina mungkin tidak menyangka bahwa satu jepretan sederhana bisa berbuntut panjang dan melibatkan mereka dalam kontroversi besar.Â
Namun, hal ini merupakan pelajaran penting bagi pasangan muda tersebut. Mereka harus segera beradaptasi dengan realitas politik dan publik yang mereka hadapi saat ini. Menjadi tokoh publik dan politikus bukan hanya soal popularitas, tetapi juga soal tanggung jawab dan kesadaran akan sensitivitas masyarakat terhadap tindakan dan ucapan mereka.
Masyarakat Indonesia, khususnya di era digital ini, sangat sensitif terhadap tindakan yang dianggap sebagai bentuk pamer atau sok berlebihan oleh pejabat atau figur publik.Â
Kritik dari masyarakat adalah hal yang wajar dan diperlukan dalam sistem demokrasi, sebagai bentuk kontrol sosial terhadap mereka yang berada di panggung publik.Â
Namun, tentu saja, kritik ini harus dilakukan dalam batas yang wajar dan tidak bertransformasi menjadi penghinaan atau caci maki. Kaesang, sebagai tokoh muda, mungkin saat ini tengah merasakan semacam "shock culture". Dulu, dia mungkin bisa bertingkah dan berbicara sesuka hati tanpa dampak yang besar, tetapi kini, sebagai Ketua Partai, setiap gerak-geriknya diawasi dengan cermat.
Yang mengejutkan dalam kasus ini adalah tanggapan cepat dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pimpinan KPK secara terbuka menyatakan kepada media bahwa kasus ini akan diperiksa untuk melihat apakah ada potensi pelanggaran hukum, khususnya terkait dugaan gratifikasi.Â
Di sinilah letak keanehannya. Pimpinan KPK seharusnya tidak langsung berbicara kepada media, melainkan terlebih dahulu memanggil Kaesang untuk meminta klarifikasi secara internal.Â
Tindakan ini bisa dianggap sebagai bentuk "panjat sosial" atau mencari sensasi dari pimpinan KPK dengan memanfaatkan kasus ini. Padahal, jika KPK langsung menindaklanjuti tanpa banyak bicara, kasus ini mungkin tidak akan berkembang menjadi isu politik yang dipolitisasi oleh berbagai pihak, dan bisa tetap berada dalam jalur hukum yang objektif.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah sikap pimpinan KPK ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa KPK serius menangani kasus korupsi tanpa pandang bulu, atau justru menunjukkan ketidakprofesionalan lembaga ini? Terlebih lagi, KPK baru-baru ini mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) untuk dua kasus besar, yang semakin mengurangi kredibilitas lembaga anti-korupsi tersebut di mata publik.