Mohon tunggu...
Marius Gunawan
Marius Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis adalah usaha Meng-ada-kan ku

Mencari aku yang senantiasa tidak bisa kutemui

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Menilai Konflik MA dan MK Terkait Usia Calon Pilkada

27 Agustus 2024   20:13 Diperbarui: 27 Agustus 2024   20:16 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: suarautama.id

Konflik antara Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait persyaratan usia calon dalam Pilkada menjadi sorotan penting dalam dinamika hukum di Indonesia. Kedua lembaga ini memiliki pandangan yang berbeda mengenai batas usia calon kepala daerah, yang memunculkan pertanyaan tentang otoritas dan wewenang masing-masing dalam menafsirkan aturan hukum yang berlaku. 

Konflik ini tidak hanya menunjukkan perbedaan interpretasi hukum antara dua institusi negara, tetapi juga berdampak pada stabilitas proses demokrasi dan kepastian hukum di Indonesia.Perbedaan Dasar Keputusan MA dan MK

Keputusan MA didasarkan pada tafsir literal terhadap Undang-Undang Pilkada. MA, dalam kapasitasnya sebagai lembaga yang mengawasi penerapan hukum, memutuskan sesuai dengan ketentuan yang tertulis dalam undang-undang tersebut. Pandangan ini mengedepankan ketaatan pada hukum positif, tanpa mempertimbangkan aspek konstitusional secara mendalam.

Keputusan MK, di sisi lain, lebih berfokus pada konstitusi sebagai landasan utama. MK memandang bahwa persyaratan usia calon harus selaras dengan hak-hak konstitusional warga negara yang diatur dalam UUD 1945. Keputusan MK didasarkan pada interpretasi yang lebih luas, memperhitungkan prinsip-prinsip dasar demokrasi dan keadilan yang diamanatkan oleh konstitusi. Dengan demikian, MK cenderung memberikan prioritas pada hak-hak konstitusional daripada sekadar mematuhi teks hukum yang ada.

Kedua lembaga ini, meskipun memiliki fungsi yang berbeda, sama-sama penting dalam menjaga keseimbangan hukum di Indonesia. Namun, perbedaan pendekatan dalam menafsirkan aturan menunjukkan adanya ketegangan antara hukum positif dan nilai-nilai konstitusional.

Siapa yang Lebih Berwenang Menilai PKPU?

Dalam konteks menilai Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU), baik MA maupun MK memiliki peran yang signifikan, tetapi dengan fokus yang berbeda. MA memiliki wewenang untuk menilai kesesuaian PKPU dengan undang-undang yang berlaku, berfungsi sebagai penjaga legalitas prosedural. MK, di sisi lain, berwenang untuk menilai apakah PKPU tersebut sesuai dengan konstitusi, menjadikan MK sebagai penjaga supremasi konstitusi.

Perbedaan ini menunjukkan bahwa MA lebih berfokus pada aspek teknis dan legal formal, sementara MK berfokus pada aspek substansial dan konstitusional. Dalam kasus konflik antara keduanya, penting untuk mempertimbangkan bahwa konstitusi merupakan hukum tertinggi di Indonesia. Oleh karena itu, argumen bahwa MK seharusnya memiliki otoritas lebih tinggi dalam konteks penafsiran konstitusional cukup kuat, terutama ketika menyangkut hak-hak dasar warga negara.

Implikasi Keputusan MK yang Menganulir Keputusan MA

   Ketika MK menganulir keputusan MA, hal ini menimbulkan pertanyaan tentang nasib keputusan MA. Secara hukum, keputusan MA yang sudah dianulir oleh MK tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Hal ini berarti keputusan tersebut, dalam praktiknya, diabaikan dan tidak dapat lagi dijadikan dasar dalam penetapan persyaratan calon kepala daerah.

   Dampak dari keputusan MK ini terhadap stabilitas hukum cukup signifikan. Di satu sisi, hal ini memperkuat supremasi konstitusi sebagai landasan tertinggi dalam sistem hukum Indonesia. Namun, di sisi lain, konflik semacam ini dapat memicu ketidakpastian hukum dan menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat dan penyelenggara pemilu. Oleh karena itu, penting untuk memastikan adanya koordinasi yang baik antara MA dan MK untuk menghindari tumpang tindih keputusan yang dapat mengganggu proses demokrasi.

Apakah Keputusan Baleg DPR Memilih Keputusan MA Sudah Tepat?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun