Hari-hari ini adalah masa berkabung untuk pemberantasan korupsi di negeri ini. Harapan yang sebenarnya masih menggelantung ketika pengajuan pembatalan Undang - Undang Revisi KPK di MK memasuki masa kecewa.Â
Ya, karena MK telah mengetuk palu dan menolak Undang - undang tersebut dicabut.
Dengan penolakan ini maka purna lah sudah kekalahan para pejuang anti korupsi di negeri ini. Keputusan MK itu bagai tumpukan terakhir gumpalan tanah mengubur KPK yang tidak mungkin bisa bangkit lagi.
Ini adalah akhir kisah perjuangan mempertahankan suatu lembaga anti korupsi yang pernah ditakuti oleh para koruptor di negeri ini.
Kemenangan saat para pimpinan KPK dikriminalisasi dan pertempuran antara Cicak vs Buaya, kini hanya bagai nostalgia dan dongeng pengantar tidur bagi anak cucu generasi nanti.
Mungkin ada yang berkata, KPK tidak mati, gedung megahnya masih menjulang tinggi.Â
Ya secara fisik KPK masih ada, namun rohnya sudah sirna. Penulis, sebagai orang yang pernah secara erat bekerja sama dengan lembaga anti rusuah ini bisa merasakan betapa para rekan di KPK yang masih punya semangat anti korupsi merasa kecewa akan situasi internal lembaga ini.Â
Maka tidaklah heran jika ada staff KPK yang kemudian mengundurkan diri karena dirasa KPK bukan lagi lembaga dan  medan yang sesuai untuk melawan korupsi.
Mereka yang masih coba bertahan pun kemudian menjadi tersingkir karena dianggap tidak lulus tes ideologi ketika diuji untuk menjadi pegawai negri.
Ini semua bukan kebetulan, tapi sudah menjadi skenario dan sistem agar KPK mati suri.
Memang sangat disayangkan justru pada era Jokowilah KPK menemui ajalnya. Pada periode kedua dan terakhirnya, yang seharusnya bisa berjuang lebih frontal untuk membersihkan negeri ini dari para koruptor, justru membuat para koruptor bisa berpesta pora lagi.