Mohon tunggu...
Gunadi Kasnowihardjo
Gunadi Kasnowihardjo Mohon Tunggu... PNS -

Sarjana arkeologi, S1 UGM, S2 U.I. tinggal di Yogyakarta dan bekerja di Balai Penelitian Arkeologi Yogyakarta. Saat ini tengah memulai studi tentang arkeologi publik dan manajemen sumberdaya arkeologi di Indonesia.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memilih Pemimpin Masa Depan...

4 April 2014   17:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:05 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh:

H. Gunadi Kasnowihardjo

WACANA

Judul di atas sengaja penulis angkat dalam artikel ini, semata-mata ingin memberikan satu alternatif kepada bangsa dan negara yang sedang mengalami krisis kepemimpinan seperti akhir-akhir ini. Munculnya konsep Ratu Adil, Mesiah ataupun Satrio Piningit saat masyarakat mengalami masa-masa krisis, kita bangsa Indonesia saat inipun tengah mengharapkan pula suatu pemerintahan yang dapat memberikan “jaminan hidup” bagi seluruh rakyatnya, terutama masyarakat lapisan bawah. Munculnya kaum reformis yang di pelopori oleh Muhammad Amien Rais, belum menghasilkan apa yang diharapkan oleh rakyat banyak. Bahkan pucuk pemerintahan yang terpilih saat itu walaupun berasal dari lingkungan santri dan ulama, secara faktual tidak dapat merepresentasikan sebagai seorang kepala negara yang dapat disejajarkan dengan Ratu Adil, Mesiah, ataupun Satrio Piningit tersebut. Kegagalan dalam menjalankangerbong reformasi, akhirnya ditebus dengan dilengserkannya Presiden Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenan.

Pemilihan Umum berikutnya tahun 2004 muncul Partai Demokrat yang dibidani oleh seorang Profesor Antropologi Subur Boedhisantosa dan berhasil mengantarkan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla ke Istana Negara. Keharmonisan pasangan SBY – JK rupanya tidak dapat bertahan hingga akhir masa jabatan. Kasus besar seperti kebijakan Pemerintah dalam proses pengucuran dana hingga triliunan rupiah kepada Bank Century tanpa sepengetahuan Wakil Presiden saat itu merupakan salah satu tanda akan kurang harmonisnya antara SBY dan JK.

Pecah kongsi antara SBY – JK pun terjadi dan PEMILU 2009 yang masih didominasi oleh Partai Demokrat, akhirnya SBY memilih menggandeng dari pihak non Partai yaitu Boediono untuk dilamar menjadi Wakil Presiden RI periode 2009 – 2014. Pasangan SBY – Boediono berhasil memenangkan PILPRES tahun 2009 dengan perolehan suara yang cukup siknifikan. Sayang seribu kali sayang, kesuksesan Partai Demokrat di periode 2009 – 2014 justru “dikhianati” oleh ulah oknum-oknum petinggi partai yang diawali oleh ditangkapnya Nazaruddin si Bendahara Umum Partai Demokrat dan disusul Angelina, Sondakh, Andi Alfian Mallarangeng, dan Ans Urbaningrum yang semuanya adalah petinggi partai (anggota pengurus pusat).

Kapankah bangsa Indonesia ini menemui suatu masa yang disebut dengan adil makmur, aman dan tenteram, seperti yang kita cita-citakan sejak awal Proklamasi Kemerdekaan Republik ini 66 tahun yang lalu ? Pertanyaan ini hendaklah menjadi suatu peringatan dan sekaligus sebagai tantangan bagi para penyelenggara negara, elite politik dan seluruh lapisan masyarakat, namun kunci utamanya terletak pada para pemegang tampuk pemerintahan. Kita harus yakin bahwa suatu masa seperti yang kita cita-citakan di atas harus tercapai, bukan impian seperti mengharapkan datangnya ratu adil, mesiah, ataupun satrio piningit. Konsep Ratu Adil, Mesiah, dan Satrio Piningit hanyalah sebuah “model” untuk menarik perhatian orang banyak.

Untuk meyakinkan kepada seluruh rakyat, para calon pemimpin bangsa ini harus mau menengok dan mencontoh sejarah masa lampau. Bahkan kita dapat mencari contoh-contoh atau model pemerintahan dan tokoh pemimpin jaman kuno sekalipun, baik yang pernah terjadi di bumi Nusantara ataupun dari negara lain.

MODEL PEMERINTAHAN MASA JAWA KUNA ABAD VIII MASEHI

Pengertian Jawa Kuna yang dimaksud dalam tulisan ini ialah mengacu pada sebuah prasasti yang berangka tahun 732 AD yang ditemukan di Desa Canggal, Kecamatan Salam, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Isi prasasti yang menggambarkan suatu model pemerintahan pada masa itu, menurut penulis sangat tepat untuk kita kaji dan hayati, kemudian bagaimana kita dapat mencontohnya. Adapun cuplikan isi prasasti Canggal tersebut antara lain sebagai berikut:

………. Di Pulau Jawa tersebut, yang mashur sebagai tanda telapak kaki Purusa, ada seorang raja bernama Sanna, keturunan dari keluarga yang sangat mulia, sangat termashur namanya, yang dengan cara mendamaikan dan pemberian, memerintah seluruh rakyat dengan selayaknya, seperti seorang bapak memelihara anaknya semenjak lahir, karena cintanya, dan setelah menundukkan musuh-musuhnya telah melindungi dunia dengan adilnya seperti Manu dalam waktu yang sangat lama. Setelah raja yang bernama Sanna, yang merupakan bulan bagi keturunannya ….. berpulang ke sorga untuk menikmati kebahagiaan, yaitu himpunan pahala dari segala tindakannya, terpisah dari padanya duniapun mengembara dalam dukacita karena tanpa pelindung ….. Raja yang bernama Sri Sanjaya, yang mulia dan dihormati oleh kaum cendekiawan sebagai orang yang menguasai kitab-kitab suci dengan artinya yang pelik-pelik, yang karena keperwiraan dan sifat-sifat mulia lainnya, seperti Raghu, telah menaklukkan raja sekitar ….. sekarang memerintah kerajaan dengan adilnya. Selama sri baginda memerintah kerajaan yang berpendingkan gelombang samudera dan berbuah dadakan gunung-gemunung, maka orang dapat tidur di tepi jalan tanpa rasa takut terhadap pencuri dan bahaya-bahaya lainnya. (disalin dari S. Supomo: ”Beberapa Aspek Keratuan Jawa Kuna” dalam Soenjono Dardjowidjojo (ed): Menggali Milik Sendiri, karya rekan di rantau, tahun 1981, hal. 41).

Cerita di atas menggambarkan kepada kita bahwa raja Sanna dalam menjalankan pemerintahannya disamakan dengan Manu yaitu raja mitologis dari India yang sangat adil dalam memelihara dunia, sehingga disebutkan layaknya seorang bapak memelihara anaknya. Kemudian Sri Sanjaya sebagai raja yang menggantikannya dikatakan sebagai seorang raja yang sangat dihormati oleh para cendekiawan karena penguasaannya tentang kitab-kitab suci, hingga pada masalah yang pelik-pelik. Selain itu dalam masa pemerintahan raja Sri Sanjaya tersebut negara benar-benar dalam keadaan aman dan tenteram, sehingga apabila seseorang terpaksa harus tidur di tepi jalan sekalipun mereka tidak akan ada rasa takut dan was-was.

Dalam masa pemerintahan raja Sanna kata kunci yang dapat kita simpulkan adalah pengayoman, raja Sanna tentu saja beserta aparat pemerintahannya sangat mengayomi rakyatnya. Kebaikan-kebaikannya dalam menjalankan roda pemerintahan diibaratkan sebagai himpunan pahala yang akan langsung dinikmati setelah beliau wafat. Dan saat beliau wafat, dunia terutama rakyatnya benar-benar merasa kehilangan.Sedangkan kata kunci yang dapat ditarik dari masa pemerintahan raja Sri Sanjaya ialahkeadilan. Oleh karena raja sangat menguasai kitab-kitab suci, jelas beliau adalah seorang alim-ulama. Maka sebagai raja, dalam melaksanakan roda pemerintahannya tidak terlepas dari aturan-aturan yang tertulis dalam kitab-kitab suci yang telah difahami dan dikuasainya. Oleh karena itu selain memerintah dengan adilnya, dalam masa pemerintahan beliau ini negara dalam keadaan aman dan tenteram, dan rakyatnyapun hidup dengan penuh kedamaian.

Pada masa Jawa Kuna dikenal pula pengertian astabrata yaitu delapan hal yang harus dijalankan oleh seorang raja. Pertama, seperti dewa Indra seorang raja harus dapat mencurahkan anugerah kepada rakyatnya, kedua, seperti Yama raja harus dapat menghukumkepada siapa saja yang bersalah, ketiga, seperti Matahari yang menghisap air secara perlahan-lahan, begitu pula dalam menarik pajak kepada rakyatnya haruslah secara lembut dan perlahan-lahan sehingga seolah-olah rakyat tidak merasakan. Keempat seperti Bulan, maksudnya raja harus dapat memberikan kebahagiaan kepada seluruh rakyatnya, kelima, seperti Angin yaitu raja harus dapat mengetahui apa-apa yang terjadi dalam masyarakat, keenam seperti Baruna, yaitu harus menangkap yang bersalah, ketujuh seperti dewa Api, raja harus mampu membinasakan musuh-musuhnya, dan kedelapan seperti Dhanaraja, raja juga berhak menikmati materi atau keduniawian secukupnya dan tidak bermewah-mewahan.

MODEL PEMERINTAHAN RAJA HARUN AL RASYID DARI BAGDAD

Ada kisah nyata yang terjadi pada keluarga raja Harun Al Rasyid saat beliau menjabat sebagai kepala pemerintahan di negeri Bagdad. Suatu hari datang menghadap seorang saudagar untuk menyerahkan sebuah cincin permata kepada raja. Setelah cincin diterima, ditanyalah dari mana cincin tersebut didapatkan. Maka berceritalah saudagar tersebut tentang seorang pemuda buruh harian yang pernah bekerja dirumahnya. Buruh harian yang tidak banyak bicara, rajin bekerja dan beribadah, hal ini terlihat saat ada orang yang membutuhkan tenaganya. Selain menentukan upah sebanyak 7 daniq (1 dirham ditambah 1 daniq) perhari, ia juga minta waktu untuk melaksanakan sholat fardu. Rupanya pemuda itu bekerja sekali dalam sepekan, yaitu hanya setiap hari Sabtu, dan penghasilan 7 daniq tersebut dipakainya sebagai beaya hidup untuk 7 hari, sehingga untuk menghidupi dirinya cukup sehari satu daniq. Pada suatu hari Sabtu saudagar tersebut mencari pemuda buruh harian di tempat berkumpulnya para buruh, tetapi pemuda tersebut tidak berada di tempat karena sedang sakit dan terbaring di rumahnya. Maka saudagar tersebut berniat menjenguknya dan ingin membantu keperluan pemuda buruh harian yang fakir. Pada saat itu pemuda yang sedang menderita sakit itu tidak minta tolong untuk dibelikan obat ataupun makanan, tetapi hanya berwasiat kepada saudagar yang menjenguknya apabila telah tiba saat ajalnya agar dia mau menjualkan peralatan kerja sebagai beaya penguburan dan mencuci jubah dan sarungnya untuk pembungkus jenazahnya. Selanjutnya ia berpesan agar merobek jahitan pada salah satu saku jubahnya dan mengambilnya sebuah cincin permata yang harus diserahkan kepada khalifah Harun al Rasyid setelah selesai upacara pemakamannya. Mendengar cerita saudagar itu menangislah raja Harun al Rasyid, karena pemuda buruh harian itu adalah puteranya yang sudah sejak lama berpisah karena tidak mau hidup diistana.

Inilah gambaran sosok pemuda yang tidak gila harta, ataupun pangkat dan kekuasaan. Sejak kecil hingga remaja ia rajin menuntut ilmu agama, setelah dewasa saat ayahnya menjabat sebagai kepala pemerintahan di negerinya, ia tidak mau hidup di lingkungan istana, ia memilih cara hidup sederhana di luar istana bahkan diakhir hayatnya ia hidup bersama orang-orang fakir. Contoh sosok pemuda yang mempunyai kepribadian mulia, kemandirian, jiwa amanah, kedisiplinan, tidak suka popularitas dan tidak serakah kepada dunia.

PENUTUP

Sejarah memang tidak mungkin akan dapat terulang kembali, tetapi dengan mempelajari dan mengkaji kejadian-kejadian ataupun peristiwa masa lalu, kita dapat mengambil suri tauladan yang baik untuk semaksimal mungkin kita terapkan dalam kehidupan kita. Model di atas hanyalah contoh semata, dari jaman Jawa Kuna kita dapat petik bagaimana sikap dan kebijaksanaan seorang raja atau kepala pemerintahan terhadap rakyatnya. Sedangkan dari negeri Bagdad, kita mendapat pelajaran dari seorang putera kepala negara yang tidak gila harta dan kekuasaan, bahkan menjauhkan diri dari popularitas. Alangkah nikmatnya hidup ini apabila kita mempunyai seorang pemimpin seperti Sanna ataupun Sanjaya dan alangkah indahnya jika putra-putri pemimpin kita mempunyai sifat seperti putera Raja Harun al Rasyid.Semua ini berpulang kepada pribadi kita masing-masing yang saat ini hidup dimasa yang jauh berbeda, masa yang penuh dengan tantangan dan godaan. Mudah-mudahan tulisan ini terbaca oleh para penyelenggara negara Republik Indonesia tercinta dari Kepala Negara sampai Kepala Desa, dan semoga dapat dijadikan bahan renungan dalam suasana keprihatinan seperti yang sedang kita rasakan sejak terjadinya krisis ekonomi yang mengakibatkan munculnya krisis kepercayaan. Saya yakin kepercayaan kepada pemimpin, elit politik, dan pemerintah akan dapat pulih kembali apabila para penyelenggara negara tersebut secara pribadi dapat bertindak dan bersikap seperti Sanna dan Sanjaya, serta diikuti dengan sikap dan perilaku anggota keluarganya seperti yang dicontohkan oleh sikap dan perilaku putra Raja Harun al Rasyid.

PEMILU Tahun 2014 SUDAH DEKAT, tetapi ingat…….di era menjelang reformasi muncul istilah KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang dijadikan senjata pamungkas dalam menggulingkan rezim Orde Baru. Apa yang terjadi setelah para reformis memegang kendali di negeri ini, apakah KKN bisa dibasmi..atau malah menjadi - jadi? Bahkan rakyat merasa di-dholimi oleh para pemimpin negeri dan elit politik yang munafik. “Kolaborasi-tengik” yang dilakukan oleh eksekutif, yudikatif, dan legislative dalam “merampok kekayaan Negara” merupakan gambaran hancurnya moral para pemimpin dan tokoh elit politik di negeri ini. Korupsi berjamaah terjadi dimana – mana, tidak hanya di jajaran eksekutif tetapi sdh melibatkan jaksa, hakim, dan bahkan anggota dewan perwakilan rakyat/daerah. Masihkah kita akan percaya dan mempercayakan pemerintahan ini kepada mereka, kroni2 mereka, anak2 mereka, isteri mereka ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun