Oleh:
Gunadi Kasnowihardjo
(Balai Arkeologi Yogyakarta)
Seperti halnya tanaman hias Jemani dan Gelombang Cinta yang antara tahun 2005 – 2007 sempat membuat masyarakat dan para pejabat tergila-gila, booming batu akik akhir-akhir ini mampu menggiring seluruh lapisan masyarakat menjadi “pemburu” batu. Booming batu akik tidak hanya menyasar ke orang-orang dewasa, akan tetapi sampai kepada anak-anak usia 5 tahun ke atas. Beberapa bulan terakhir ini setiap pulang sekolah anak saya yang baru kelas IV Sekolah Dasar dan adiknya yang baru TK Nol Kecil, selalu bercerita tentang teman-temannya yang memakai cincin “berakik”. Setiap saat mereka bercerita tentang batu akik selalu diakhiri dengan permintaan supaya dibuatkan cincin batu akik seperti yang dipakai oleh teman-teman sekolahnya. Sebagai arkeolog yang tidak suka memakai cincin batu akik, walaupun memiliki sedikit koleksi batu-batu akik yang saya gosokkan di Pasar Martapura saat saya bertugas sebagai Kepala Balai Arkeologi Wilayah Kalimantan antara tahun 2002 – 2006 yang lalu, saya selalu memberikan pemahaman kepada anak-anak saya tentang booming batu akik yang saya nilai sesuatu yang abnormal, sehingga tidak perlu diikuti. Ingat saat booming tanaman hias Jemani dan Gelombang Cinta, semua itu hanyalah fatamorgana yang diciptakan oleh sekelompok orang yang ingin memanfaatkan situasi dan kondisi sesaat.
Terlepas dari apa yang saya uraikan di atas, booming batu akik adalah satu realita dan fenomena dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Nilai sebuah batu akik yang mencapai hingga harga milliaran rupiah, jelas-jelas merupakan magnet yang sangat kuat bagi orang-orang yang gaya hidupnya dilatar-belakangi dengan pemikiran-pemikiran instan. Dari batu akik Pulau Bacan di wilayah Maluku hingga batu akik dari wilayah Aceh di ujung barat, semua orang memburu batu-batu itu. Pengrajin batu akikpun muncul bak tumbuhnya jamur dimusim hujan, dengan mudah ditemukan dimana-mana baik di kota maupun di desa. Ongkos menggosok untuk menjadikan sebuah batu akik yang semula hanya 5.000 IDR meningkat 5 – 6 kali lipat menjadi 25.000 – 30.000 IDR dan setiap hari terlihat tempat pengrajin selalu dikerumuni orang yang antri menggosokkan batu mereka. Transaksi batu akik semakin marak dengan diselenggarakannya pameran dan bursa batu mulia di beberapa Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
Dari sisi ekonomis dampak positif yang dirasakan oleh masyarakat pengrajin batu akik omset mereka bertambah berlipat ganda untuk memenuhi permintaan konsumen. Sehingga ekonomi rakyat ini terus menggeliat, dan semoga tidak dalam waktu yang singkat. Dibanding dengan dampak positifnya, dampak negative dari booming batu akik ini rupa-rupanya lebih tinggi karena banyak pihak yang dirugikan baik Negara, masyarakat, maupun perseorangan. Situs-situs arkeologi prasejarah yang memiliki potensi perkakas yang terbuat dari batu dan juga sumber materialnya banyak yang dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab dan tidak memahami akan arti pentingnya situs arkeologi tersebut. Penjarahan tidak hanya mengambil artefak maupun bahan baku yang ada di permukaan tanah seperti yang terjadi di situs-situs arkeologi prasejarah di wilayah Tipar – ponjen, dan sepanjang DAS Kali Kelawing, Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Bahkan, tadi pagi pukul 06:57 WIB saya di telpon Bapak Sunarto Kepala Dinas Kebudayaan, Pariwisata, Pemuda dan Olah Raga Kabupaten Rembang, Jawa Tengah menyampaikan berita bahwa telah terjadi “penggalian liar” di Situs Prasejarah Terjan yang dilakukan oleh orang-orang “pencari batu akik”. Penjarahan situs-situs cagar budaya baik yang terjadi baik di wilayah Kabupaten Purbalingga maupun di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah, jelas sesuatu perbuatan yang melanggar Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya.
Kasus penjarahan tidak hanya terjadi di situs-situs cagar budaya, bahkan batu nisan makam Seniman Almarhum Saptohudoyo di kompleks Makam Seniman Imogiri dan batu nisan makam Seniman Almarhum Bagong Kussudiardja di Gunung Sempu, Bantul yang terbuat dari batu mulia jenis kecubung dan pancawarna raib dicuri orang yang diperkirakan akan dijadikan batu akik. Booming batu akik ternyata membuat sebagian masyarakat kita tidak mampu menjaga akal sehatnya. Tergiur harga batu akik yang terus melambung, mereka berani berbuat nekat dengan mencuri barang milik orang mati (KRJogja.com 14 April 2015). Nisan makam Bagong Kussudiardjo dan Saptohudoyo yang memiliki ciri-ciri seperti bentuk dan terbuat dari bahan yang khusus, pada satu saat nanti akan menjadi artefak cagar budaya karena keduanya adalah termasuk tokoh nasional di bidang seni dan budaya. Di waktu-waktu yang akan datang booming-booming lain pasti akan muncul entah kapan dan tentang apa kita tunggu saja. Namun, yang perlu diwaspadai adalah dampak-dampak negative yang ditimbulkannya, sehingga pengalaman dari booming Jemani dan Gelombang Cinta yang mengakibatkan bangkrutnya beberapa pengusaha, serta booming batu akik yang banyak menimbulkan kerusakan situs cagar budaya harus dijadikan pelajaran dan perlu antisipasi agar tidak terjadi dampak-dampak negative yang merugikan kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H