Mohon tunggu...
Akhmad Gunawan Wibisono
Akhmad Gunawan Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Santri Ponpes Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta

Membahas Apapun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seorang Penulis yang Tak Lagi Menulis

4 Mei 2024   20:34 Diperbarui: 4 Mei 2024   20:37 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sudah dua bulan ini, kulihat laptopku terbengkalai di atas meja belajar. Laptop merk Tiongkok itu berwarna silver, barang ini kudapatkan atas pemberian temanku dari Malang. Aku masih ingat, laptop ini mendarat di tanganku dengan ucapan, "Mas, laptop ini untukmu saja. Tapi keyboard-nya rusak." Mendengar itu aku hanya mengangguk, sebab bentuk protes terhadap pemberian barang gratis adalah kriminal etika. Syukur-syukur aku dikasih. Tak jadi soal bagiku, aku bisa mereparasinya dengan mahar lima ratus ribu.

Sejak mula aku senang membaca buku, aku sedemikian terpukau dengan para penulis yang berhasil menelurkan karya ideologisnya dalam bentuk tulisan. Kupikir, menjadi penulis adalah pekerjaan yang menyenangkan. Selain bisa mengabadikan umur, karya tulis merupakan mesin waktu yang siap melintang pada garis waktu zaman.

Sedari aku mendapatkan laptop --usai direparasi---hampir tiap hari waktuku berkhidmah untuk menulis. Dari pagi hari sampai siang, sore hingga malam kusiksa jari-jariku untuk menari di atas keyboard tanpa ampun. Awal-awal menulis, entah mengapa aku serasa memiliki ide tiada batas yang ingin kutulis. Walhasil, dari tema curhatan, refleksi, opini-opini hingga esai ringan tersimpan rapi di folder-folder yang kubuat di laptop.

Aku setiap hari belajar menulis, mulai dari membenahi gramatika, pola membangun argumentasi hingga penggunaan bahasa-bahasa yang kece kupelajari tiap hari. Sampailah aku menyadari bahwa ternyata tulisan hasil ketikanku sudah teramat banyak. Salah seorang kawan menyarankan, "Mas Gun, tulisanmu taruh saja di media X", aku pun menyanggupi itu. Dan, kau tahu? Tiap kali naskah rampung, tulisanku selalu kukirim ke media sebagaimana saran temanku tadi.

Namun kau jangan mengira tulisanku begitu mudah diterima oleh redaktur sehingga hasil karyaku mampang di internet beserta tage name "karya Akhmad Gunawan Wibisono". Nyatanya aku salah, justru dari media-media ini jiwaku babak belur rasanya. Tiap-tiap tulisanku yang kukirim tak pernah mampang di sana. Mungkin dari puluhan yang kukirim itu, hanya sebagian saja diterima, itu pun tak sampai sepuluh.

Ah, begitu menyakitkan menjadi penulis. Selain harus berlama-lama di depan laptop, menguras pikiran hingga psikis yang amburadul. Tetap saja media fair menilai, "kalau nggak sesuai standar media ya kami tolak." Barangkali ini yang membuatku jenuh untuk menulis.

Segala tumpukan kekecewaan yang kupendam terlalu sering pada akhirnya memudarkan hasrat awalku yang berapi-api untuk menjadi penulis. Pikiran buruk kian menyerbu. Atau jangan-jangan aku memang sebenarnya tak bakat untuk menjadi penulis? Atau jangan-jangan yang kulakukan sekarang ini hanyalah bentuk pandangan pertama sehingga aku pun tak meriset lebih jauh apa dampak negatif dari seorang penulis pemula yang dihunjam oleh kerasnya persaingan media?

Aku sempat berpikir, apa aku yang kurang belajar? Kurang  banyak membaca? Kurang banyak menyerap referensi untuk menulis sehingga hasil tulisan itu tak kunjung diterima. Entahlah, yang pasti untuk saat ini gairahku untuk menulis berangsur-angsur meredup. Di fase-fase krusial saat ini aku sering bertanya-tanya. Apakah memang tujuan utama menulis adalah mengumpulkan seperangkat tulisan yang nantinya akan dijadikan satu lalu menjelma menjadi sebuah buku? Lalu namaku bisa dikenal orang, "oh si Gunawan ini penulis buku ini." Emm... Atau yang lebih realistis lagi. Apakah aku menulis bertujuan untuk mendapat cuan? Oh ya, kamu perlu tahu bahwa sekali tulisanmu mampang di sebuah media entah itu online atau fisik. Usahamu akan mendapat apresiasi yang biasa disebut royalti. Itu adalah penghargaan redaktur terhadap usahamu untuk menghasilkan karya tulis.

T-tapi tunggu dulu. Untuk mendapatkan uang dari karya tulis gak semudah checkout barang di ritel online. Kamu harus besusah payah untuk bersaing dengan penulis lainnya. Melelahkan bukan? Bayangkan. Apa yang kamu tulis diharuskan sesuai dengan visi dan misi media agar mereka bisa mendulang adsense demi tujuan kapitalistik. Keji bukan? Tapi itulah sebentuk keniscayaan.

Pada akhirnya, para penulis bukan bertujuan untuk menumpahkan apa yang ada di benak hati dan pikirannya masing-masing. Namun hanya demi menyenangkan media, lebih-lebih menjelma sebagai writer pleasure. Menulis bukan lagi sebagai media untuk kebebasan ekspresi namun untuk membahagiakan liyan.

So, wajar saja bila penulis amatir seperti diriku--- tetiba mandek menulis sebab hati dan pikiran ini rasanya sudah lelah untuk memenuhi ekspektasi kapital dan kebagahagiaan liyan. Dari sini, aku pun menarik kembali tujuan, niat awal mengapa aku sebenarnya menulis?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun