Mohon tunggu...
Akhmad Gunawan Wibisono
Akhmad Gunawan Wibisono Mohon Tunggu... Guru - Santri Ponpes Kreatif Baitul Kilmah Yogyakarta

Membahas Apapun

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Gus Dur, Sekilas Jejak Politik dan Dimensi Guyonisme

18 Februari 2023   11:30 Diperbarui: 18 Februari 2023   11:33 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Gus Dur atau nama lengkapnya Abdurrahman Wahid adalah presiden Republik Indonesia yang ke-4. Gus Dur naik ke tahta kepresidenan pasca huru-hara politik yang masih berkecamuk serta menambal sulam wajah negara demokratis yang masih kalut. Peristiwa munudurnya The Smilling General Soeharto menjadi memori kelam bagi negara Indonesia. Terhitung sejak kekuatan Orde Baru berkuasa pada medio 1967-1998 menandai begitu kuatnya pengaruh kuasa sang jenderal tersebut.

Pengaruh yang dibawa oleh Orde Baru pada tataran konstruk sosial di Indonesia telah merambah pada sisi psikologi masyarakat. Sebab gaya kepemimpinan Soeharto cenderung otoriter dan army-power sehingga membawa aura serius, kaku, serta minim kebebasan. Tentu hal ini membuat masyarakat Indonesia harus mengikuti ritme yang ada. Tak ada keluwesan, serba monoton, dan saklek.

Pasca peristiwa mundurnya Soeharto 21 Mei 1998, kursi kepresidenan diganti oleh Si Jenius BJ. Habibie. Artinya BJ. Habibie harus menyambung link authority dari Soeharto untuk siap menjadi nahkoda atas kapal yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Keadaan ini, Reformasi dimulai. Meski awal-awal transisi dari Orde Baru menuju Reformasi masih sering diliputi kecemasan dan traumatik sosial; adanya demo besar-besaran. Setidaknya, Mr. Crack (Julukan BJ. Habibie) memberi harapan baru kepada generasi Indonesia pada saat itu hingga seterusnya untuk memegang kendali politik kenegaraan.

Pada 1999 Gus Dur menaiki kursi kepresidenan menggantikan BJ. Habibie setelah pemilu berlangsung dan menjadi kewenangan MPR untuk mendaulat Gus Dur menjadi presiden ke-4. Keadaaan ini membawa nafas lega bagi keadaan politik saat itu. Karena Gus Dur merupakan figur sekaligus tokoh kunci Pluralisme. Kesadaran atas keberagaman budaya, ras, suku, bangsa, dan agama menjadi titik balik bagi Gus Dur guna meredakan kasus-kasus rasisme dan serangan terhadap pilar tersebut untuk diejawentahkan menjadi hal yang antik, menarik, dan tidak perlu dibuat rese'.

Kalimat "Gitu aja kok repot!" menjadi identitas Gus Dur sekaligus menjadi stempel bagi dirinya dalam menyikapi kondisi negara yang sedang krisis ketenangan. Perlu disadari bersama bahwa peralihan dari era Orde Baru kepada Reformasi benar-benar menegangkan urat syaraf. Kondisi demikian menjadi bintang harapan bagi rakyat Indonesia untuk segera bertemu dengan pemimpin yang luwes, sersan (serius-santai), dan humoris guna mencairkan suasana.

Gus Dur dengan pembawaanya yang kalem membawa nilai positif atas apa yang dibutuhkan bangsa saat itu. Gaya bersosial yang humoris bisa meredakan urat syaraf dan sejenak mereduksi fenomena chaos yang sudah dilalui bersama di tahun 1998.

Kepiawaian Gus Dur dalam membuat jokes-jokes receh namun mengundang gelak tawa seolah-olah memberi predikat pada diri Gus Dur bukan hanya sebagai bapak Pluralisme, tapi juga bapak Guyonisme. Guyonan Gus Dur menjadi sarana mencairkan kondisi masyarakat pada era 1999 hingga di turunkannya Gus Dur di tahun 2001 dan digantikan oleh Megawati.

Pada akhirnya ingatan kolektif masyarakat masih banyak berkutat pada guyonan Gus Dur yang hingga kini terus relevan untuk dinikmati bersama. Gus Dur akan terus menjadi figur ke-khasan dari 7 diantara presiden Indonesia yang lain. Gus Dur adalah presiden yang paling unik dengan gaya humornya yang menonjol.

Ada sebuah cerita menarik diambil dari buku Tertawa Bersama Gus Presiden Dur karya Hermawan Sulistyo. Yakni cerita mengenai Ulama NU yang merokok saat bermusyawarah di dalam Hotel bintang lima di kawasan Jakarta.

Kita ketahui bersama bahwa Kiai NU umumnya adalah perokok berat. Saat bermusyawarah di salah satu ruang hotel bintang lima di Jakarta terdapat tanda "NO Smoking" di ruang tersebut. Dengan asyiknya para Kiai NU merokok sambil berbincang hingga asap rokok mengepul memenuhi ruangan yang ber AC tersebut. Sontak saja security mendatangi para Kiai dan menegur dengan wajah geram bahwa sudah ada tanda dilarang merokok di ruangan tersebut. Gus Dur pun menyahut dengan santainya, "NO Smoking kan ? sampeyan itu salah, NO Smoking itu singkatan dari Nahdlatoel Oelama Smoking artinya ruangan ini tempat orang NU boleh merokok".

Perlu diketahui bahwa sejak organisasi NU didirikan (1926). NO merupakan ejaan lama dari NU yaitu Nahdlatoel Oelama sehingga mengikuti ejaan baru menjadi Nahdlatul Ulama seperti sekarang ini. Gus Dur, tetap menjadi kembang abadi sebagai bapak Guyonisme negara Indonesia. Begitulah seorang Gus Dur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun