Bahasa memiliki kekuatan membentuk persepsi, mendefinisikan realitas, dan memengaruhi hubungan antarindividu. Kata "goblok," yang sering digunakan dalam konteks percakapan sehari-hari, menyimpan makna yang berlapis dalam perspektif moral.
Dalam banyak situasi, kata ini menjadi ekspresi spontan untuk menyampaikan frustrasi atau kekesalan. Namun, penggunaannya sering kali melampaui konteks ringan, mengarah pada penghinaan yang melukai martabat seseorang.
Dari sudut pandang moral, bahasa mencerminkan etika masyarakat. Pilihan kata yang digunakan menunjukkan penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan, empati, dan penghargaan terhadap sesama.
Ketika seseorang menggunakan kata "goblok" untuk mengejek, ia bukan sekadar menyampaikan ketidaksenangan. Ada dimensi penghinaan yang dapat mengikis rasa percaya diri korban.
Penghinaan verbal seperti ini sering kali dianggap remeh. Padahal, dampaknya dapat berlanjut dalam bentuk trauma psikologis atau ketakutan yang mendalam pada individu yang diserang.
Dalam perspektif moral, tindakan menghina berlawanan dengan nilai-nilai universal seperti kasih sayang dan saling menghormati. Penggunaan kata "goblok" menempatkan pelakunya dalam posisi tidak berempati.
Kata-kata kasar seperti "goblok" menciptakan jarak emosional antara pelaku dan korban. Akibatnya, relasi sosial menjadi renggang, bahkan berpotensi memicu konflik yang lebih besar.
Secara etimologis, kata "goblok" merujuk pada kondisi kebodohan atau kurangnya pengetahuan. Namun, dalam penggunaan modern, maknanya telah bergeser menjadi alat untuk menyerang pribadi.
Penggunaan kata ini dalam pendidikan, misalnya, sering kali merusak hubungan antara guru dan murid. Alih-alih membangun rasa percaya, ia justru menciptakan rasa malu dan kebencian.
Dalam konteks keluarga, kata "goblok" yang diucapkan oleh orang tua kepada anak dapat menanamkan luka emosional yang bertahan lama. Anak-anak yang sering dihina cenderung kehilangan rasa percaya diri.