"Demi Tuhan, bukan kami yang memulai semua ini, Pak!" teriak Tam dengan suara bergetar, matanya berkilat penuh tekad sementara tangannya terkepal erat di sisi tubuhnya. Ia berdiri tegak, menantang tatapan tajam yang ditujukan padanya, tak gentar membela kebenaran meskipun seluruh dunia seolah berbalik melawannya.
Saat situasi semakin memanas, Ibu Lauren angkat bicara. "Pak Salvador," ujarnya lembut namun tegas, "Saya rasa ada baiknya kita menghukum mereka semua tanpa terkecuali."
Ruangan hening seketika. Ibu Lauren melanjutkan, "Dalam setiap perkelahian, tidak ada yang benar-benar tak bersalah. Mereka semua telah melanggar aturan panti dan harus bertanggung jawab atas tindakan mereka."
Tam, Lucas, dan Elia terdiam mendengarnya. Mereka setuju dan menerima keputusan itu dengan lapang dada. Namun tidak dengan Adnan dan Dominic. Mereka menggerutu dan terus melontarkan pembelaan diri.
"Tapi kami tidak salah!" protes Adnan. "Kami hanya membela diri!"
Pak Salvador, yang perlahan mulai melihat kebijaksanaan dalam saran Ibu Lauren, tiba-tiba bangkit dari kursinya. Matanya berkilat tajam, memancarkan otoritas yang tak terbantahkan. Dengan gerakan tegas, ia mengangkat tangannya, membelah ketegangan yang menyelimuti ruangan.
"CUKUP!" Suaranya menggelegar, mengguncang dinding-dinding kantor. Adnan tersentak, kata-katanya tercekat di tenggorokan. "Keputusan sudah dibuat, dan itu final!" Pak Salvador melanjutkan, nadanya penuh tekanan pada setiap suku kata. "Kalian berlima akan menjalani hukuman yang sama. Tidak ada pengecualian, tidak ada banding!"
Keheningan mencekam menyelimuti ruangan. Adnan dan Dominic saling berpandangan, wajah mereka pucat pasi. Mereka tahu betul reputasi Pak Salvador - sekali ia membuat keputusan, tak seorang pun bisa mengubahnya. Bahkan gunung pun akan lebih mudah dipindahkan.
"Keluar semua sekarang juga!" perintah Pak Salvador kepada anak-anak itu.
Dengan bahu terkulai dan hati yang berat, Adnan dan Dominic akhirnya mengangguk lemah, menerima nasib mereka. Mereka berbalik, langkah-langkah gontai menuju pintu keluar. Wajah mereka masam, seolah baru menelan pil yang sangat pahit.
Sementara itu, Tam dan kawan-kawannya diam-diam menghembuskan napas lega. Meskipun hukuman tetap menanti di depan mata, setidaknya beban itu kini terbagi. Ada secercah kepuasan terselip di mata mereka, melihat Adnan dan Dominic yang biasanya angkuh kini harus merasakan pahitnya konsekuensi yang sama.