Ekna menatap kosong ke arah foto besar yang terpajang di dinding ruang tamu. Wajah sang ayah tersenyum hangat, seolah masih hidup dan baru saja pulang dari kantor. Namun kenyataannya, sudah tiga tahun berlalu sejak kepergian ayahnya yang mendadak akibat serangan jantung.
"Kenapa harus Ayah?" bisik Ekna lirih, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. "Kenapa bukan Ibu saja?"
Pikiran itu kembali menghantui benaknya. Rasa bersalah selalu menyergap setiap kali ia berpikir demikian, tapi Ekna tak bisa menahan diri. Di matanya, sang ayah adalah sosok yang tak tergantikan - tulang punggung keluarga, sosok yang selalu ia kagumi, dan pelindung yang tak tergantikan.
Sementara ibunya... Ekna mendengus pelan. Yang ia lihat hanyalah seorang wanita yang hanya menghabiskan waktunya di rumah, memasak, bersih-bersih, dan gemar berbelanja menghabiskan uang hasil kerja keras ayahnya. Pekerjaan yang menurutnya bisa dilakukan siapa saja.
"Ekna, ayo makan malam," suara lembut ibunya terdengar dari arah dapur.
Dengan enggan, Ekna beranjak ke meja makan. Aroma masakan ibunya yang biasanya menggugah selera kini terasa hambar di lidahnya. Ia menyantap makanannya dalam diam, sementara sang ibu mencoba memulai percakapan.
"Bagaimana sekolahmu hari ini, Nak?"
"Biasa saja," jawab Ekna singkat, tanpa mengangkat wajahnya dari piring.
Ibu Ekna menghela nafas panjang. "Ibu tahu kamu masih bersedih, Nak. Ibu juga merasakan hal yang sama. Tapi kita harus terus melanjutkan hidup. Ayahmu pasti tidak ingin melihat kita terus larut dalam kesedihan."
Ekna mengangkat wajahnya, menatap ibunya dengan tatapan dingin. "Ibu tidak mengerti. Ayah... Ayah adalah segalanya. Tanpa Ayah, kita bukan apa-apa."
Kata-kata itu menusuk hati sang ibu, namun ia tetap tersenyum lembut. "Kita masih punya satu sama lain, Ekna. Dan itu sudah cukup."