Mohon tunggu...
Gunawan -
Gunawan - Mohon Tunggu... -

senang membaca, menonton film, kadang menulis, senang jalan-jalan, saat ini berkegiatan sosial di kampung buku

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sepak Bola

28 April 2011   02:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mereka Ada Di Jalan
Lagu Iwan Fals ( Album Belum Ada Judul 1992 )
Pukul tiga sore hari Di jalan yang belum jadi
Aku melihat anak anak kecil
Telanjang dada telanjang kaki Asik mengejar bola

Kuhampiri kudekati
Lalu duduk di tanah yang lebih tinggi
Agar lebih jelas lihat dan rasakan
Semangat mereka keringat merekaDalam memenangkan permainan

Ramang kecil Kadir kecil Menggiring bola di jalanan
Ruli kecil Riki kecil Lika liku jebolkan gawang

Tiang gawang puing puing
Sisa bangunan yang tergusur
Tanah lapang hanya tinggal cerita
Yang nampak mata hanyaPara pembual saja

Anak kota tak mampu beli sepatu
Anak kota tak punya tanah lapang
Sepak bola menjadi barang yang mahal
Milik mereka yang punya uang saja
Dan sementara kita disini di jalan ini

Bola kaki dari plastik Ditendang mampir ke langit
Pecahlah sudah kaca jendela hati
Sebab terkena bolaTentu bukan salah mereka

Roni kecil Heri kecil Gaya samba sodorkan bola
Nobon kecil Juki kecil Jegal lawan amankan gawang
Cipto kecil Suwadi kecil Tak tik tik tak terinjak paku
Yudo kecil Paslah kecil Terkam bola jatuh menangis...
***

Permainan ini sudah lama sekali ada di Indonesia, sejak jaman Belanda, di kampung-kampung di kota-kota besar, orang-orang terutama laki-laki begitu menggandrungi permainan ini. Pada tahun 1930-an PSSI (persatuan sepak seluruh Indonesia) berdiri, sebagai wadah yang menaungi dan mengurus dunia sepak Indonesia yang pernah berhasil membawa wajah Indonesia kepada Dunia bahwa Sepak Bola juga digandrungi di negeri ini. Lapangan Ikada (sekarang Monas) sebagai saksi bisu bahwa beberapa klub di berbagai Negara pernah berlaga disana. Aku tidak tahu apakah jaman kerajaan lampau sepak bola telah popular di masing-masing daerah saat itu, tidak perduli, yang jelas ketika aku kecil aku mulai jatuh cinta dengan permainan ini.
Aku masih ingat masa kecilku saat itu, hampir setiap hari aku bersama teman sebaya bermain sepak bola di tanah pekuburan Blok P (sekarang menjadi Kantor Wali Kota Jakarta Selatan) dekat rumah. Lingkungan kami tinggal memang tidak memiliki tanah lapang, yang ada hanyalah tanah sepetak dari halaman tanah pekuburan Kristen. Aku sering bermain bersama teman kecilku di kuburan itu. Kuburan Kristen didekat rumahku memang kuburan yang cukup nyaman untuk bermain, bahkan bisa dibilang layaknya taman. Lingkungannya bersih karena sering dibersihkan oleh tukang bersih kuburan. Kuburannya banyak yang disemen atau dibentuk seperti rumah dengan halaman yang berumput. makanya kami betah bermain disana. Petak umpet, dor nama, petasan, layangan, tembak-tembakan, dan sepak bola. Tidak ada rasa takut sedikit pun dalam diriku saat itu. Mungkin karena sudah biasa. Tapi sejak menonton film-film Suzanna rasa kecut mulai hinggap kala malam tiba bila melewati kuburan itu, sial!

Saat itu tahun 1990-an, aku duduk di kelas 4 sekolah dasar. Tubuh sedang lincahnya untuk bermain dan berlari. Disekolah bermain galasin, dampu, benteng, batu tujuh, gundu (kelereng) juga sepak bola plastik. Menjelang bulan puasa, biasanya permainan fisik berkurang mengingat aku muslim yang sedang belajar berpuasa. Pelariannya adalah membeli mainan atau komik petruk dari abang-abang tukang mainan yang suka berkumpul di depan gerbang sekolah. Mainan atau komik itu aku beli dari hasil uang jajan yang aku kumpulkan setiap hari. Uang jajan Rp. 300,- perak dari ibu, aku sisihkan Rp. 200,- dan Rp. 100,- untuk jajan. Saat itu Rp. 50,- rupiah masih bisa membeli tempe goreng ukuran besar dengan bumbu saus botol tomat, tinggal sisanya membeli segelas es limun.

***
Mengingat tentang sepak bola di sekolah dasar saat itu menarik juga, bola plastik yang dibawa salah seorang teman kami mainkan bersama-sama. Tidak perduli dengan halaman sekolah yang kecil, resikonya adalah tembok sekolah banyak meninggalkan bekas bola dan keadaan semakin gaduh kala bola mengenai tembok ataupun bola masuk ke gawang. Pada akhirnya Pak Wardjo, wali kelasku di SD Pulo 08 Petang Jakarta, datang mengampiri dengan tenangnya. Meminta bola plastik yang dimainkan teman-teman, salah satu teman memberi bola yang dimintanya. Ketika bola dipegangnya, dari balik saku baju dikeluarkan pisau lipat ala McGyver, lalu, Jusssss....! bola dibelah dua. Kami mengerti maksudnya, dan cuma senyum kecut menatapnya. Saat itu aku telah menginjak kelas 6 SD, dimana Iwan Karo-karo, Robby Darwis sedang aktif membela klubnya masing-masing di Liga Indonesia.

Tapi dari kejadian itu tidak membuat kami menjadi trauma bahkan justru cinta. Pulang sekolah, sore hari, aku bersama teman lingkungan rumah berkumpul, salah satu teman membeli bola plastik di warung kelontong dari hasil patungan uang jajan kami. Kami berangkat menuju tanah lapang sebuah halaman kuburan Kristen. Tanah lapang itu kami rombak menjadi lapangan sepak bola. Kami buatkan gawang, kerja bakti membersihkan lapangan dari batu dan beling kaca, serta kami buatkan garis lapangan, yang sulit adalah sebuah pohon besar berada dilapangan dekat gawang. Jadi lucunya, kalau membawa bola mendekati gawang lawan harus berputar dulu mengitari pohon. Tapi akhirnya lama-lama pohon itu menyerah, beberapa lama kemudian pohon penghalang itu sudah tidak ada lagi. Kasian juga dia, habitat hidupnya tersingkir. Tapi kami malah makin giat bermain bola disana. Tidak perduli dengan cuaca cerah ataupun hujan lebat. Kami tetap bermain, bahkan semakin seru. Penghenti waktunya adalah azan magrib. Sudah waktunya pulang, sisanya tinggal dimarahi ibu habis-habisan karena baju dan celana kami begitu kotor. Akhirnya aku dan adikku dihukum mencuci sendiri baju yang kotor tersebut. Saat itu aku sudah menginjak di bangku SMP.

Waktu terus berjalan, permainan malah dibuat seru dengan adanya taruhan. Tapi bukan uang layaknya penjudi, hanya hadiah berupa, “siapa tim yang kalah harus membeli 2 liter minuman coca cola atau fanta dengan batu es yang akan kami minum sama-sama”, hanya untuk menambah semangat. Terbukti, permainan kami semakin bergairah. Bahkan saking bergairahnya, kami hampir mau berseteru dengan kampung sebelah hanya karena berebut tanah lapang. Tapi karena merasa punya etika, ego coba ditahan. Waktu bermain dibagi menjadi dua. Dalam seminggu kedua kampung membuat jadwal bermain, yang penting hobi terus tersalurkan.

***
Tahun 1995 aku menginjak bangku SMU, usiaku 17 tahun. Saat itu aku tergolong tua untuk ukuran teman sebayaku. Maklum, orang tua jaman dulu dikampung baru menyekolahkan anaknya pada usia 7 atau 8 tahun di bangku sekolah dasar. Anehnya, pihak sekolah membolehkan calon muridnya belajar disekolahnya dengan syarat: “kalau tanganmu dapat menyentuh telinga sendiri melewati kepala, kamu baru bisa sekolah”. Sebuah kepercayaan yang tidak masuk akal. Apa hal itu dialami oleh kalian? Aku yakin saat ini peraturan itu sudah tidak berlaku.

***
Masa SMU memang masa yang paling menggairahkan. Pertumbuhan fisik, reaksi kimia dalam tubuh, diikuti perubahan suara dari tenor menjadi bass, semua terjadi secara alamiah dan kodrat yang patut disyukuri. Perubahan lingkungan baru dan pertemanan merubah cara pandangku dalam menjalani proses hidup yang masih labil. Semua adalah teka teki yang musti dijalani tanpa harus dipecahkan, dan sepak bola menjadi penyambung kehidupanku yang tidak pernah lepas hingga kini.

Beruntungnya aku duduk dikelas satu yang memiliki banyak teman dengan hobi yang sama: sepak bola. Dimulai dengan saling membela klub dunia baik liga Inggris, Itali atau Jerman hingga latihan bola bersama di tanah lapang kosong daerah elit Pondok Indah sampai Bintaro. Ternyata virus ini juga menyebar pada kelas-kelas yang lain. Kami saling beradu laga dengan kelas-kelas yang lain. Bahkan disekolah diadakan kompetisi sepak bola setiap jam istirahat. Tidak sia-sia, tim kami selalu menang. Kenangan itu masih kuingat saat ini.

***
Kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung adalah pengalaman puncak bagi orang yang keluarganya hanya berpendapatan pas-pasan macam diriku. Setiap acara olahraga aku selalu terlibat didalamnya. Baik menjadi panitia logistik atau turut serta berlaga. Lucunya, dikampusku kami membentuk tim dengan nama yang aneh-aneh: milisi pletok, muka jelekus, semut-semut merah yang berbaris di dinding, peredam kejut (nama lain dari shock breaker yang terdapat di kendaraan bermotor, red), meong, topi miring, dan masih banyak lagi. Sementara timku bernama “breyek” dengan alasan layaknya humas klub profesional, “kami nggak pake teknik skill, setiap ada bola, seluruh pemain langsung breyek (kumpul berebut bola, kaya ayam dikasih makan!)”. Dalam pertandingan ini, seluruh harga diri dipertaruhkan karena ini adalah pertarungan laga se-fakultas. Buktinya, kami kalah dan harga diri cuma mitos, yang penting adalah berapa harga nasi sepiring di warung itu, di restoran ini hehe, maklum anak kost.

***
Fiuh, nggak nyangka melamun soal bola mulai dari kecil sampai tua segini panjangnya. Toh, juga saat ini aku bukan menjadi pemain sepak bola profesional layaknya Bambang Pamungkas, Kurniawan Dwiyulianto, atau sekaliber kelas dunia seperti David Beckam atau si “tonggos” Ronaldinhio. Hanya hobi masih mengalir di jiwa (cieh..), atau alasan lain, “olahraga dong biar nggak cepat terserang osteoporosis..!,” dan aku masih menekuni saat ini dengan bermain FUTSAL. Bravo sepak bola Indonesia, semangat! Kapan berlaga di Piala Dunia? (Au ah gelap…).
Sebuah Catatan dari blog saya tanggal January 08, 2008

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun