Kiriman uang ibu sangat aku jaga baik-baik. Aku sangat mengerti bahwa ibu bukanlah pegawai kantoran. Pekerjaannya hanyalah pedagang warung nasi dipinggir jalan yang pendapatannya tidak menentu. Jumlah tanggungannya pun banyak. Aku jadi semangkin sungkan meminta uang padanya. Makanya uang kiriman ibu yang jumlahnya tidak menentu aku peluk erat sampai jangka waktu yang tidak menentu. Pokoknya seratus ribu harus cukup dalam sebulan. Kalau pun bisa lebih lama bertahan itu sebuah prestasi.
Bahkan aku pernah hanya mendapat sangu lima puluh ribu saja. Aku sempat kecut, “Bagaimana aku hidup dengan uang segini?”. Tapi perasaan itu melesat hilang begitu saja tanpa kupikirkan lagi, “Yang penting sampai tujuan!” pikirku. Persoalan makan cuma persoalan gali lubang tutup lubang. Mumpung masih banyak teman, kalau kepepet aku masih bisa berhutang.
Nyatanya aku tidak sendirian. orang seperti aku juga banyak. Bahkan kami berteman akrab. Mungkin perasaan senasib meski tidak sepenanggungan. Ada yang masih aku ingat dari teman-temanku atau manusia perantauan macam aku dalam soal pola makan. Dalam hal makan, sepertinya kami mulai mengikuti pola hidup ular, “makan sekali yang banyak sesudah itu puasa”. Kami tidak mengenal pola makan tiga kali sehari. Bagiku itu sudah istimewa. Dua kali makan sehari saja sudah mujur.
Pagi hari aku ganjal perutku dengan secangkir teh dan gorengan. Siang hari makan sebanyak-banyaknya untuk mengulur waktu dari rasa lapar. Sebatang dua batang rokok cukup membantu mengurangi rasa lapar yang kadang menggaruk. Setelah magrib baru makan lagi.
Pada saat itu, jarang sekali aku membeli jajanan yang mahal. Dalam soal makanan, seluruhnya aku batasi harganya. Paling maksimal aku jajan hanya tiga ribu rupiah. Diatas itu aku anggap jajanan mahal dan aku hanya bisa menelan ludah melihatnya. Soal makan juga begitu. Budgetku untuk makan, paling mahal lima ribu. Seringnya aku mengeluarkan tiga ribu rupiah sekali makan. Itu sudah kelas ekonomi.
Beruntung aku kuliah didaerah yang masih ada tempat-tempat makan dengan harga ekonomis. Pujasera menjadi tempat langganan kami yang berduit cekak. Lauk pauknya memang sederhana serupa dengan tampilan tempatnya. Istimewanya ditempat ini, seluruh makanan disajikan secara prasmanan. Maka setiap orang yang makan bisa menyendok nasi sebanyak-banyaknya yang ia mampu. Semuanya dihitung dengan harga murah. Tempat ini jadi surga bagi kami yang berkantong pas-pasan.
Bahkan aku pernah melihat kawanku yang berdarah batak saat kami makan dipujasera. Ia bernama Timmy Parulian. Yang membuat aku terkejut, nasi yang ia sendok ke dalam piringnya penuh sekali dan tinggi. Tampilannya jadi seperti nasi tumpeng dengan dua buah telur diujung sebagai lauknya. “Dahsyat, dasar perut ular”, celotehku. Sementara Timmy cuma senyum-senyum saja.
Ternyata, ada tempat makan yang lebih ekonomis lagi dari Pujasera, kami mengenalnya warung Ibu Haji, tidak tahu nama sebenarnya dan tidak pernah mau bertanya nama pemiliknya. Kepentingan kami cuma makan. Tapi memang diakui warung Ibu Haji selalu ramai diserbu oleh mahasiswa. Bukan karena rasanya, bahkan (maaf), rasa sayurnya sangat hambar, dengan lauk pauk yang dibuat mini serta menggunakan beras yang berkualitas dua atau tiga, beras pera. Karena saking murahnya, disaat-saat kritis warung ini yang jadi penyelamat mahasiswa kelas ekonomi atau berkantong cekak.
Dalam kehidupan keseharian sebagai mahasiswa perantauan. Kegiatan yang kulakukan biasa saja. Kuliah, membaca, bergaul dengan teman dan berkegiatan di kampus untuk menyibukan diri. Akhir minggu bertugas mencuci gombal dan menyetrika.
Beruntung sekali nilai akademisku cukup lumayan sehingga aku selalu mendapat bantuan beasiswa PPA (sampai aku lupa kepanjangan singkatan ini). Aku mendapatkannya sejak pertama kali kuliah, ini juga berkat bantuan abangku yang sudah lebih lama kuliah disana. Dia bergaul baik dengan pengurus akademik, Pak Darsim. Pria separuh baya yang berdarah sunda. Perawakannya gemuk dan pendek, dengan rambut dan kumis yang seluruhnya memutih karena usia. Tapi yang kulihat energi hidupnya terus memancar. Semangatnya tinggi dan penuh senyum. Melalui tulisan ini, aku mengucapkan terima kasih telah diberi bantuan mendapatkan beasiswa. Dan hingga akhir kuliah beasiswa itu masih kudapatkan. Setiap bulan kudapatkan bantuan sebesar 75.000,- rupiah. Lumayan bisa membeli buku dan bertahan hidup.
Karena memang terbiasa susah. Segala aktivitas dilakukan dengan senang hati, termasuk ongkos transport. Menggunakan transport di Jatinangor atau di Bandung terlalu banyak menghabiskan ongkos. Sebentar-sebentar naik angkot. Untuk mencapai satu tujuan harus rela naik beberapa angkot. Karena memang kota Bandung adalah kota kecil dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Jalan-jalan rayanya kecil dan berliku-liku. Maka alat transportasi utamanya adalah angkot dengan berbagai jurusan.
Untuk menekan pengeluaran transport ini. Kami lebih rela berjalan kaki. Anggap saja olahraga. Sering kali jalan kaki kami lakukan setiap hari. Di Jatinangor, dari kampus menuju gerbang berjalan kaki, dari gerbang menuju kosan berjalan kaki. Begitu juga dengan Pitra, teman kampusku yang tinggal di Bandung. Dia berlaku sebagai pedestrian selama kesehariannya. Selama melakukan aktivitas di Bandung kami seringkali berjalan kaki untuk menempuh suatu jarak. Di jalan Dago, Dipati Ukur, atau sampai ke Geger Kalong. Hingga suatu kali seniorku pernah terheran-heran padaku saat dia beberapa kali melihatku berjalan kaki dengan Pitra, atau dengan temanku yang lain. Dia diangkot dan aku berjalan kaki. Lalu suatu hari di tahun 2004 aku mengusulkan suatu ide kepada Pitra, “Pit, kalau nanti kita lulus kuliah, bagaimana kalau kita jalan kaki dari Jatinangor ke Bandung? Mungkin ini sebagai nazar kita bersama. Dan Pitra bilang, “Setuju!”.