Dalam kehidupan berorganisasi, membaca dan menulis merupakan suatu keharusan yang mesti dilakukan oleh setiap orang yang telah bergabung di dalamnya. Membaca yang dimaksud di sini, adalah dalam arti luas. Tidak hanya membaca buku, namun juga membaca karakter masing-masing, membaca kebutuhan dan keinginan bersama demi mewujudkan visi-misi organisasi yang dimaksud, dan lain-lain.
Demikian juga dengan kegiatan menulis. Menulis juga tidak terlepas dari dunia organisasi. Contoh sederhana, ketika melakukan rapat-rapat, baik rapat panitia maupun pengurus, maka semua hasil rapatnya harus ditulis oleh seorang notulen atau sekretaris dan kemudian ditindaklanjuti. Hematnya, membaca dan menulis merupakan dua aktivitas yang tidak bisa dipisahkan dalam berorganisasi.
Tanpa membaca, maka pemimpin organisasi mustahil bisa mengetahui apa yang harus ia lakukan untuk menjalankan roda organisasinya. Tanpa membaca, tidak mungkin ia mengetahui karakter dari setiap bawahannya. Tanpa membaca, barangkali ia tidak bisa mengetahui mau diapakan organisasi yang ia pimpin tersebut.
Seorang pemimpin harus mampu membaca dan memetakan di mana sisi kelebihan, dan kekurangan yang dimiliki oleh organisasinya. Pun juga yang datang dari luar (eksternal), yaitu ia harus mampu membaca dan mengetahui kira-kira peluang dan ancaman seperti apa yang ada di luar sana. Paling tidak, membaca keempat elemen ini harus mampu diketahui oleh pemimpin di setiap organisasi. Sebab, ini merupakan salah satu modal primer agar bisa menggerakkan organisasi ke depannya.
Demikian juga dengan semua personil lainnya. Membaca juga perlu dan wajib dilakukan. Untuk mengetahui isu-isu terkini, berita, dan informasi di luar organisasinya, maka mau tidak mau ia harus membaca, entah itu membaca yang sifatnya tersurat maupun tersirat. Dari hasil bacaan itu, alangkah bagus lagi bila dituliskan kemudian disampaikan kepada seluruh rekannya dalam organisasi yang dimaksud.
Apa pun jenis dan bentuk organisasi, akan jauh lebih hebat lagi, bila bisa menghasilkan karya tulis berupa buku. Ya, minimal buku antologi (karya bersama). Syukur-syukur kalau masing-masing anggota bisa menghasilkan buku solo. Ini menurut saya, organisasi plus-plus. Perlu ditiru oleh organisasi-organisasi lainnya.
Alhamdulillah, dari beberapa organisasi yang saya ikuti, ada satu organisasi yang sekarang sudah mulai menggarap buku antologi pertama. Belum lama memang. Baru beberapa hari yang lalu disepakati untuk menuliskan satu buku antologi perdana.
Awalnya, memang saya berinisiatif untuk menggaungkan literasi di organisasi yang saya "bina" ini, terkhusus yang berkaitan dengan tulis-menulis. Sebab, saya perhatikan sudah banyak yang mampu mencurahkan berbagai pengalaman dan cerita kehidupannya lewat tulisan. Lalu, di kemudian hari, dibuatlah grup literasi oleh Sekretaris Umum, sebagai wadah khusus untuk mempublikasikan tulisan-tulisan dari setiap anggota.
Alhasil, gagasan tersebut akhirnya tercapai juga. Beberapa dari anggota yang bergabung sudah mampu menulis, walaupun belum bisa istikamah. Persoalan istikamah hanya butuh waktu dan kebiasaan saja. Paling tidak, saya merasakan kebahagiaan karena mereka sudah mau berbagi pengetahuan, cerita, dan pengalaman lewat tulisan.
Nah, untuk menumbuhkan minat, motivasi, dan semangat berliterasi di antara mereka, akhirnya saya dengan senior-senior yang bergabung di organisasi tersebut sepakat untuk merancang salah satu program yaitu, penulisan buku antologi. Tentu dengan harapan, selain dari yang telah disebutkan di atas, juga untuk menyadarkan mereka bahwa menulis itu merupakan suatu kewajiban. Terlebih menulis buku.
Dan secara pribadi juga, saya ingin organisasi ini bisa menjadi organisasi percontohan dan teladan bagi organisasi-organisasi kedaerahan lainnya (khususnya, Organda Bima-Dompu) di kota Makassar. Oww iya, hampir saya lupa menyampaikan nama organisasinya. Organisasi yang saya ceritakan di atas adalah Wadu Tunti Community (WTC). Salah satu organisasi daerah (Organda) Bima-Dompu yang berada di kota Makassar. Mulanya organisasi ini bernama IPMI (Ikatan Pelajar Mahasiswa Bumi Pajo) Makassar. Namun, 2016 lalu, namanya diganti menjadi WTC (Wadu Tunti Community).