Mohon tunggu...
Gunawan BP
Gunawan BP Mohon Tunggu... -

Bukan siapa-siapa. Hanya seorang pemuda yang berasal dari Desa Bumi Pajo, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima, NTB. Mencoba belajar dan berbagi melalui untaian kata dan kalimat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Terlalu Fanatik (Part 2)

3 September 2017   00:31 Diperbarui: 3 September 2017   00:32 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Rabu, 19 Juli 2017, kurang lebih pukul 22.00 WIB, saya sempat membaca salah satu status atau postingan teman facebook saya, bahwa ada orang katanya ketika menonton salah satu acara di stasiun televisi, ia melempar televisinya dengan benda yang berat hingga kaca televisinya pecah, lantaran tidak suka dengan omongan salah satu narasumber di acara televisi tersebut. Lebih lanjutnya lagi, narasumber yang tidak disukai oleh si pemirsa (penikmat acara TV) tersebut sudah pasti bukan idolanya.

Inilah seperti yang saya katakan pada tulisan saya sebelumnya, bahwa salah satu efek samping daripada sifat kefanatikan yang berlebihan terhadap tokoh tertentu adalah memunculkan dan atau dapat menimbulkan kebencian terhadap orang atau tokoh yang bukan idolanya. Sungguh, saya sangat prihatin, bila banyak masyarakat kita sudah sampai ke level ini. Saling membenci, saling memaki antara satu sama lain, lantaran beda fans, beda idola. Lagi-lagi, ia merasa bahwa orang yang diidolakannyalah yang selalu benar. Apa pun ucapan dan tindakannya selalu didukung.

Beginilah realita yang terjadi di lapangan. Banyak orang yang selalu memuja dan mengidolakan si C, misalnya. Apa pun tindakan dan ucapannya seolah-olah semuanya benar secara mutlak, padahal ia lupa bahwa orang yang diidolakannya tersebut adalah hanya manusia biasa, bukan malaikat. Yang artinya, potensi untuk melakukan kesalahan juga sudah pasti ada. Parahnya lagi, orang yang terlalu fanatik terhadap tokoh-tokoh tertentu, bukan hanya orang awam melainkan banyak di antaranya orang yang berpendidikan tinggi.

Kita boleh-boleh saja mengidolakan si D, misalnya. Sebab, hal seperti ini adalah hak masing-masing pribadi. Namun, jangan sampai terlalu fanatik kepada si D, lantas membuat kita menutup diri dan tidak mau menerima kebenaran dan masukan yang datang dari luar si D. Bukankah kebenaran itu bisa saja datang dari orang-orang yang barangkali menurut kita berada di bawah kita atau yang tidak sepaham dengan kita?

Mari kita membuka diri. Belajar bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera dengan baik dan benar. Bangun dan perkuatlah persaudaraan di antara sesama. Jangan sebaliknya, malah mau memunculkan kebencian dan pertikaian yang tidak berujung, hingga akhirnya persaudaraan menjadi semakin renggang.

 Wallahu a'lam.

Oleh: Gunawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun