Bergidik dan meremang bulu kuduk saya membaca berita-berita kriminal yang saya baca dan juga bisa anda simak di Kompas.com berikut ini :
Culik dan Bunuh Bocah 11 Tahun, 2 Remaja di Makassar Ingin Jual Organ Tubuh Korban
Polisi Tangkap Salah Satu Pelaku Tawuran yang Tewaskan Pemuda di Pasar Kam Jatinegara
Yang menjadikan berita-berita di atas sangat menyedihkan adalah para pelaku kejahatan itu adalah anak-anak di bawah umur. Pelanggaran hukum yang mereka lakukan pun sudah amat keterlaluan dan tak bisa lagi hanya disebut sebagai juvenile delinquency atau kenakalan remaja. Apakah melakukan penganiayaan berat sampai membunuh bahkan dengan sadis masih bisa disebut sebagai kenakalan remaja?
Peristiwa kejahatan dalam segala bentuknya yang dilakukan anak-anak di bawah umur juga cenderung meningkat "kualitas"nya dari waktu ke waktu.
Secara hukum anak-anak pelaku kejahatan itu diadili di bawah sistem peradilan anak yang berbeda dengan peradilan untuk orang dewasa. Sanksi atau hukuman atas pelanggaran hukum yang dilakukan anak pun berbeda dengan penjatuhan hukuman atas kejahatan yang dilakukan orang dewasa.
Yang sering luput dari perhatian kita ketika seorang anak berhadapan dengan hukum adalah bagaimana posisi orangtua anak tersebut ketika pelanggaran tersebut diproses hukum. Yang sering kita lihat pula adalah ketika seorang anak di bawah umur sedang menghadapi proses hukum maka dia adalah individu tunggal yang harus menanggung segala konsekwensi hukumnya.
Padahal seorang anak di bawah umur secara hukum seharusnya menjadi tanggungjawab orangtua yang tak bisa berlepas tangan begitu saja. Seharusnya pula, ketika seorang anak terpaksa harus diproses hukum karena dia telah melakukan perbuatan melawan hukum maka orangtuanya harus bersiap pula menanggung dan menerima hukuman yang dijatuhkan kepada anaknya.
Hukuman yang dijatuhkan kepada anak pelanggar hukum bisa saja dari yang paling ringan berupa membayar denda, menjalani kerja sosial, sampai yang berat berupa kurungan penjara, maka semua itu juga harus ditanggung bersama orangtuanya. Jadi, jika seorang anak dijatuhi hukuman kerja sosial selama satu bulan misalnya, maka orangtuanya juga harus menerima bagiannya ikut menjalani hukuman kerja sosial itu. Bisa saja seorang anak dan orangtuanya berbagi masing-masing 15 hari kerja sosial atas penjatuhan vonis kerja sosial selama satu bulan yang dijatuhkan kepada sang anak.
Jika vonis yang dijatuhkan itu termasuk berat karena seorang anak harus masuk kurungan penjara maka orangtuanya pun harus ikut pula merasakan menginjak lantai penjara untuk sepersekian lama dari masa hukuman.
Selama ini yang acap saya lihat dan yang saya tahu, ketika seorang anak berhadapan dengan hukum, seringkali orangtuanya hanya "membeladiri" dengan, misalnya, mengatakan shock atau kaget dan samasekali tidak tahu dengan apa yang telah dilakukan anaknya, atau meminta maaf sambil menangis-nangis dan memasang ekspresi penyesalan secukupnya. Tapi tak ada satupun yang tegas dan gentleman menyatakan siap berbagi menjalani hukuman bersama anaknya. Padahal, sebelum seorang anak mencapai kedewasaan secara hukum, maka orangtuanya tak boleh berlepas tangan samasekali atas segala perbuatan anaknya.
Ada pepatah dalam Bahasa Jawa yang mengatakan "Anak polah, bapa kepradhah." Yang maknanya kurang lebih jika seorang anak melakukan suatu perbuatan, maka orangtuanya harus turut pula menerima dan menanggung akibat dari perbuatan sang anak.
Falsafah Jawa yang menunjukkan bahwa orangtua tak boleh berlepas tangan atas apa yang telah diperbuat anaknya inilah yang sepertinya diharapkan bisa menjadi pertimbangan untuk memunculkan peraturan atau hukum yang menetapkan orangtua harus turut pula menerima dan menjalani sebagian putusan hukum yang dijatuhkan kepada anaknya.
Peraturan ini akan memberikan dampak kepada para orangtua untuk selalu bersungguh-sungguh peduli mengawasi anak-anak mereka. Mereka tidak bisa seenaknya dan abai begitu saja dalam memberikan pendidikan dan mengikuti perjalanan kehidupan keseharian anak-anaknya. Dan harapan akhirnya adalah perbuatan pelanggaran hukum oleh anak-anak di bawah umur bisa berkurang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H