Misalnya ketika tengah malam badan saya demam berkeringat sampai basah kuyup tanpa ada yang menyeka karena saya hanya sendirian di kamar isolasi. Bagaimana saya bersusah payah berganti pakaian sendiri setelah belajar dari seorang perawat bagaimana cara melepas dan mengenakan pakaian ketika tangan kita terpasang jarum dan selang infus.
Bagaimana saya pernah seharian harus berjalan sempoyongan bolak-balik ke kamar mandi karena efek pengobatan yang membuat saya harus banyak buang air kecil sambil menjinjing sendiri botol infus. Bagaimana setiap hari saya harus mendapat sekian injeksi dan menelan berbagai obat dan vitamin untuk kesembuhan saya.
Bagaimana saya harus diperiksa dengan teliti setiap hari oleh dokter dan perawat yang berpakaian hazmat lengkap hingga saya hanya bisa mengenali mereka dari kedua mata dan suara mereka. Bagaimana pernapasan saya untuk beberapa lama terpaksa harus dibantu selang oksigen untuk menaikkan kebugaran tubuh saya.
Bagaimana rasa kesepian saya karena harus berpisah dengan orang-orang tercinta. Bagaimana suatu saat ketika saya makan malam sendirian, menyuap dengan tangan kiri yang gemetar (tangan kanan tak bisa berbuat karena dipasangi jarum dan selang infus), tiba-tiba meneteskan airmata tanpa bisa dibendung.
Saya baru menyadari betapa indahnya ketika saya bisa duduk semeja makan dengan keluarga atau sahabat-sahabat tercinta.
Setelah agak lama mengalirkan beberapa cerita sedih itu saya kemudian bertanya kepada tetangga baik saya ini, “Masih percaya saya dicovidkan, Mas? Berani berpetualang melawan Covid seperti saya di ruang isolasi, Mas?”
Jawabannya sangat bisa ditebak, “Enggak lah Paaak ... Saya enggak berani, pingin baik-baik saja tidur di rumah.”
Catatan ini saya akhiri dengan ajakan kepada para survivor Covid 19 terutama yang pernah sampai harus mengalami perawatan medis serius seperti saya untuk selalu aktif person to person turut serta memberi pencerahan kepada siapa saja yang awam tentang bahaya Covid. Memang setiap orang bisa dengan mudah mencari sendiri informasi tentang penyakit ini. Tapi pengalaman pribadi yang disampaikan secara ‘personal touch’ saya kira akan lebih menarik dan mengesankan bagi siapapun yang menerimanya. Itu sering saya rasakan sendiri atmosfernya ketika saya bercerita dan berbagi pengalaman saya sebagai pasien Covid kepada siapa saja, bahkan kepada orang yang sebelumnya tak kenal saya sekalipun. Tanpa berkesan menggurui. Betapa bahagianya ketika saya menyaksikan seseorang mengangguk-anggukkan kepala dengan tulus dan mulai menyadari betapa beresiko perilakunya selama masa pandemi ini yang bisa membahayakan dirinya sendiri maupun orang-orang terdekatnya.
Ada dua hal yang menurut pengalaman saya besar kemungkinan bisa membangkitkan kesadaran akan bahaya Covid bagi orang yang belum pernah (semoga tidak) menjadi penderita Covid 19:
Pertama, orang ini bertemu dengan survivor Covid yang aktif memberikan pencerahan tentang bahaya Covid berdasarkan pengalaman yang dialaminya lewat obrolan bersahabat, tulus, ringan, dalam suasana santai seperti yang biasa saya lakukan.