Setelah beberapa hari mengalami ketidaknyamanan pada tubuh saya, saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke rumah sakit DKT Slamet Riyadi di dekat rumah saya di kota Solo. Karena dokter praktik klinik yang memeriksa saya sebelumnya mendiagnosa saya mengalami kelelahan dan flu biasa, saya optimistik jika kalaupun nanti saya harus dirawat inap, paling-paling 2-3 hari saya akan pulih.
Setelah beberapa saat saya berada di ruang IGD, saya gembira ketika saya diberitahu akan segera masuk ke kamar rawat inap. Tetapi kemudian hati saya bertanya-tanya ketika di IGD itu saya dipindahkan di ruang khusus dan dokter berdiskusi dengan istri saya.
Saya sangat terkejut ketika kemudian saya diberitahu bahwa dari hasil foto thorax saya, dimungkinkan saya terinfeksi virus Covid 19. Dan saat itu juga kemudian saya harus masuk kamar isolasi pasien penderita Covid 19. Musnah sudah harapan saya dirawat inap di kamar yang sudah saya bayangkan nyaman itu.
Pemandangan yang menyedihkan ketika saya harus berpisah dengan istri tercinta di depan pintu masuk ruang isolasi. Saya hanya bisa melambai dan memberi pesan “I love you” lewat isyarat tangan. Dengan kursi roda yang didorong perawat berpakaian hazmat lengkap sampailah saya di kamar isolasi E-06 yang kelak dua hari kemudian saya beri nama BED OF STRUGGLE AND HOPE (Ranjang Perjuangan dan Harapan). Walau hanya berbekal sedikit pengetahuan saya tentang Covid 19, saya memprediksi saya harus menghuni kamar ini selama sekian belas hari ke depan.
Hasil test swab keesokan harinya semakin meyakinkan bahwa saya memang terinfeksi Covid 19. Semenjak itu dimulailah sekian belas hari pengalaman yang takkan pernah saya lupakan sepanjang hayat.
Dalam kesendirian selama 17 hari saya harus melalui masa-masa sulit yang tak pernah saya bayangkan akan saya alami.
Selain saya harus mengalami kesulitan sebagai pasien dalam kesendirian, saya juga harus bergulat dan bergumul dengan tantangan mental psikologis yang tak kalah dan mungkin jauh lebih berat. Paling tidak untuk diri saya pribadi.
Saya masih ingat ketika suatu saat saya harus menitikkan airmata. Dalam kesendirian di meja tempat saya makan, dengan tangan kiri saya menyendok makan malam karena tangan kanan terikat selang infus. Di saat itu tiba-tiba saya membayangkan keluarga, saudara, sahabat, dan rekan-rekan kantor saya. Airmata mengalir tak terbendung, dan saya memang tak berniat mencegahnya. Airmata saya sebagai bukti bahwa saya sungguh mencintai mereka dan merindukan mereka.
Hari demi hari saya lalui dengan segala rasa. Tapi itu semakin menguatkan hati saya bahwa dalam lindungan Allah saya bisa melewati badai ini dengan baik.
Ada 3 hal hasil perenungan saya selama saya menghuni kamar isolasi E-06 “Bed of Struggle and Hope” saya.
Pertama, selama saya menjadi pasien yang terinfeksi Covid 19, saya harus menghadapi stigma atau pandangan negatif yang datang dari orang lain maupun yang muncul dari diri sendiri. Masih ada yang menganggap orang yang tertular Covid 19 berarti perilaku hidupnya sembrono dan mengabaikan aturan kesehatan. Ada pesan WA datang yang membuat saya bingung, ini pesan nasihat atau pesan menyalahkan? Dia tidak tahu bahwa saya juga orang yang sering membagikan info positif dan ikut memerangi hoax tentang penyakit ini baik di obrolan kampung maupun di medsos. Saya terima saja ini dengan lapang dada, saya harus kuat.