Mohon tunggu...
Harmonisasi
Harmonisasi Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia Kritis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nikmati prosesmu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sadar Diri dan Gerak Perfeksi

21 September 2020   15:58 Diperbarui: 21 September 2020   16:08 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Oleh : Alfit Lyceum --Di tepi sungai, seeokor keledai berceramah tentang tata cara berenang pada sekumpulan ikan di dalam sungai.

Di bawah pohon, keledai yang sama kembali berorasi, mengajarkan tata cara terbang pada sekawanan burung di atas pohon.

Apa yang akan terjadi? Sampai kapanpun, keledai itu tidak akan bisa berenang, tidak akan bisa terbang. Mengapa demikian? Sebab keledai tak menyadari siapa dirinya, dan siapa di hadapannya.

Mestinya, keledai itu lebih banyak bertanya kepada ikan dan burung, tentang ilmu renang dan terbang. Mestinya, keledai itu memuridkan dirinya di hadapan ikan dan burung, bukan justru menggurui keduanya.

Pesannya apa? Gerak perfeksi diawali dari kesadaran diri. Sadar akan siapa/dan dimana level diri. Tanpa sadar diri, jangan berharap diri akan menyempurna.

Bayangkan saja.
Apa jadinya seorang jahil yang tak menyadari kejahilannya. Dia akan merasa ulama dan mengambil peran-peran keulamaan, berdiri di atas mimbar, ceramah dan terus ceramah.

Apa jadinya seorang suami atau istri yang tidak menyadari dirinya sebagai orang yang telah berpasangan. Dia akan bertingkah serasa masih jomblo. Dia akan menghiasi dirinya dengan ragam umpan. Hingga akhirnya, pebinor atau pelakor pun terumpan.

Apa jadinya para pejabat yang tidak menyadari bahwa mereka adalah pemimpin yang punya kewajiban. Di atas kursi kepemimpinan, kesejahteraan rakyat akan dilelang. Rakyat mati, gegara kelaparan. Pejabat mati, gegara kekenyangan.

Apa jadinya non ahli yang tidak menyadari kenonahliannya. Dia tidak akan tahu bahwa dia tidak tahu. Akhirnya, dia merasa tahu. Nyatanya, hanya sotta, sotoy alias sok tahu. Implikasinya, telinganya disumbat, enggan mendengar. Sedang mulutnya berbicara dan terus bicara, walau hanya bacotan doang, tanpa isi. Seperti tong kosong, yang sungguh nyaring bunyinya.

Apa jadinya seorang murid yang tak menyadari kemuridannya. Dia berlagak guru yang menggurui murid lainnya. Bahkan juga, menggurui seseorang yang semestinya dipertuangurukan. Seperti keledai yang mengajari ikan berenang, dan mengajari burung tuk terbang.

Dan bayangkan. Apa jadinya seorang hamba yang tak menyadari kehambaannya. Dia akan menuhankan diri di hapadan sesama hamba, bahkan di hapadan wujud yang semestinya diperTuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun