Mohon tunggu...
Harmonisasi
Harmonisasi Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia Kritis
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nikmati prosesmu

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Relasi Sosial

12 September 2020   03:38 Diperbarui: 12 September 2020   04:04 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"perlakukanlah orang lain sebagaimana engkau ingin orang lain memperlakukanmu seperti itu".

Yakni, jika engkau ingin orang lain bertindak harmonis pada dirimu, maka berusahalah untuk bertindak harmonis pada orang lain. Dan, jika engkau ingin agar orang lain tidak bertindak eksploitatif pada dirimu, maka berusahalah untuk tidak mengeksploitasi orang lain. Sebab, sebagaimana dirimu yang mencintai harmonisasi dan membenci eksploitasi, orang lain pun demikian adanya.

Dalam filsafat harmonisasi, perilaku manusia kepada manusia lain dianalisis lebih dalam, serta dilandasi oleh tendensi yang berbeda dari hal di atas. Yakni, kita berlaku baik pada orang lain bukan sekedar agar orang lain juga berlaku baik kepada kita. Pun juga, kita tidak berlaku jahat pada orang lain bukan sekedar agar orang lain tidak berlaku jahat pada kita. 

Dalam filsafat harmonisasi, kita berlaku baik pada orang lain lantaran kita ingin berlaku baik pada diri kita sendiri. Begitu juga, kita tidak berlaku jahat pada orang lain lantaran kita tidak ingin berlaku jahat pada diri kita sendiri. Sebab, pada hakikatnya, berbuat baik pada orang lain adalah berbuat baik pada diri sendiri, menyakiti orang lain adalah menyakiti diri sendiri.  Hakikat ini juga diisyaratkan Tuhan dalam firman_Nya:

"Apabila kalian berbuat baik (pada orang lain), sesungguhnya kalian berbuat baik pada diri kalian sendiri, dan apabila kalian berbuat jahat, sesungguhnya kejahatan itu untuk kalian sendiri (in ahsantum ahsantum li anfusikum, wa in asa'tum fa laha)". (Al-Isro ayat 7)

Tentu, berlaku baik dan buruk pada diri sendiri dengan cara berlaku baik dan buruk pada diri orang lain hanya dapat dipahami oleh mereka yang berpandangan filosofis, atau siapa saja yang mengafirmasi keberadaan jiwa yang nonmateri. Alasannya, kebaikan dan keburukan yang dimaksud adalah efek baik berupa kesempurnaan jiwa (hakikat diri) dan efek buruk berupa degradasi hakikat diri. 

Dengan kata lain, ketika kita berlaku baik pada orang lain, maka efek perbuatan baik tersebut bukan hanya berlaku pada orang lain, tetapi juga berpulang pada diri sendiri yang dengannya hakikat diri (jiwa) menyempurna. Sebaliknya, ketika kita berbuat buruk pada orang lain, maka efek perbuatan buruk tersebut bukan hanya diterima oleh orang lain, tetapi juga berpulang pada diri sendiri dan pada akhirnya menurunkan kualitas jiwa.

Dalam Bahasa yang lebih filosofis dikatakan, salah satu sebab gerak perfeksi dan gerak degradasi jiwa adalah perilaku kita terhadap orang lain. Atau, dalam Bahasa irfani dikatakan, wujud malakut kita akan bergerak naik melampaui malaikat dan semakin benderang layaknya cahaya yang terang manakala kita memperlakukan orang lain secara harmonis. Sebaliknya, wujud malakut diri kita akan bergerak turun melampaui binatang ternak dan meredup laksana cahaya redup manakala kita bertindak eksploitatif pada orang lain.

Mungkin, tidak akan ada orang yang ingin bertindak baik pada orang lain jika hakikat dirinya semakin meredup setiap ia melakukan kebaikan pada orang lain. Dan, mungkin, semua orang akan berlomba memperlakukan orang lain dengan buruk jika kualitas diri semakin benderang setiap ia melakukan keburukan pada orang lain. Maha suci Dia yang menciptakan sistem kausalitas dengan sebaik-baiknya, hingga kebaikan hanya relevan dengan kebaikan, dan keburukan hanya relevan dengan keburukan.

Sehingga pada hakikatnya, perlakuan kita pada orang lain adalah sejenis mempertontonkan hakikat diri kita pada orang lain. Apabila kita bertindak baik pada orang lain, sesungguhnya kita sedang mempertontonkan kualitas diri kita yang begitu benderang pada orang lain. Dan, apabila kita bertindak buruk pada orang lain, sesungguhnya kita sedang mempertontonkan kualitas diri kita yang begitu meredup pada orang lain. Adakah orang berakal yang ingin mempertontonkan keburukan dan aib dirinya pada khalayak ramai?

Itulah mengapa kita (semestinya) merasakan kebahagiaan berupa kesempurnaan jiwa setiap kita menyuntikkan kebahagiaan atau bertindak harmonis pada orang lain, dan merasakan penderitaan pada saat kita menabur kesedihan atau bertindak eksploitatif pada orang lain. Bahkan, boleh jadi, kita hanya memberikan kebahagiaan aksidental berupa uang pada orang lain, tapi dibalik pemberian itu, kita mendapatkan kebahagiaan substansial berupa kesempurnaan jiwa (pahala). Boleh jadi pula, kita hanya memberikan derita aksidental berupa luka fisik pada orang lain, tapi dibalik itu, kita beroleh penderitaan substansial berupa degradasi jiwa (adzab).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun