Mohon tunggu...
Gunawan Simangunsong
Gunawan Simangunsong Mohon Tunggu... Administrasi - Gunawan Simangunsong seorang Junior Asscociate di Refly Harun & Partners saat ini sedang menempuh Pascasarjana Universitas Indonesia Peminatan Hukum Kenegaraan. Untuk menghubungi bisa di gunawansimangunsong14@gmail.com

Lawyer at Refly Harun and Partners, Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Dewan Perwakilan Daerah: Antara Ada dan Tiada

27 Januari 2015   22:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:16 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

DEWAN PERWAKILAN DAERAH : ANTARA ADA DAN TIADA

Tepatnya 84 tahun yang lalu terjadi semacam perjalanan historis (historical journey) yang dilakukan oleh para pemimpin dari berbagai daerah di semua sudutnegeri untuk melantangkan bersama Sumpah Pemuda. Sebuah sumpah di manadasar ideal dari bangsa dan negara diteguhkan, menjadi fundament dari eksistensikita kini dan di masa nanti.

Peristiwa bersejarah itu menandai dan membuktikan secara kuat peran dan saham daerah dalam pembentukan bangsa dan republik ini. Kita pun mafhum bersama. Peristiwa tersebut bukanlah kebetulan atau baru terjadi pada masa itu. Ia sudah didahului oleh berbagai kejadian di puluhan daerah dimasa ratusan tahun sebelumnya. Dimana daerah melakukan perjuangan sampai mati melawan pemerintahan kolonial. Semua fakta itu mengatakan pada kita secara faktual dan jernih bahwa daerah-daerah yang diwakili oleh para pemimpinnya di awal abad 20 dan berbagai komunitas lokal, macam Jong Celebes, Jong Java, Jong Sumatera, Jong Ambon, dan sebagainya adalah aktor sejati dari terbentuknya republik ini. Adalah The Founding Fathers dari bangsa yang kemudian bernama Indonesia ini. Tidaklah mengherankan bila Muhammad Yamin salah satu dari guru bangsa kita menyatakan dengan tegas dalam perbincangan awal penyusunan konstitusi kita bahwa Indonesia hanya dapat disusun dengan didasarkan atas negara kesatuan dengan mewujudkan syarat-syarat yang mementingkan kepentingan daerah. Sebagai pewaris nilai-nilai kebangsaan para pendiri itu, tidak bisa tidak kita patut dan wajib mengimplementasi dan mengembangkan peran daerah sebagai basis utama dari cara kita membangun diri, mengorganisasikan negara, dan menentukan masa depan bangsa dan negara kita. Ini adalah sebuah obligasi yang tak dapat dielakkan oleh siapapun. Terutama kita yang ada di ruangan ini untuk merealisasikan secara nyata basis atau fundamen kenegaraan dan kebangsaan kita itu. Dan kami sangat percaya serta sungguh yakin sedalam-dalamnya bahwa yang duduk di sini adalah para pemimpin dengan integritas terbaik sebagai negarawan yang tidak akan setitik pun ragu melaksanakan dan mewujudkan obligasi penting itu.

Bukan hanya dalam proses pendiriannya, tapi juga dalam masa pancaroba setelah republik ini berdiri, ketika kita sebagai bangsa diancam perpecahan, baik karena sebab eksternal maupun internal, daerah kembali membuktikan peran, fungsi, dan posisi historisnya yang vital dalam membuat negeri ini utuh dan tetap utuh, sejauh nyawa terkandung tubuh. Sebagaimana ingatan masih segar di hati dan kepala kita, hal itu terjadi saat Yogyakarta maju sebagai ibukota negara, saat Jakarta sebagai ibukota resmi dikuasai oleh Belanda. Bahkan ketika Yogya akhirnya diduduki tentara kolonial dan dwitunggal ditahan oleh Belanda. Sekali lagi daerah bekerja mempertahankan keberadaan dan kedaulatan negara kita. Mr. Syafrudin Prawiranegara, tokoh Banten ternama, saling berbagi bahu dengan pemimpin daerah menegakkan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Dan kenalah peristiwa monumental itu saat negeri ini dipecah oleh kekuatan kolonial, menjadi serpihan dalam Republik Indonesia Serikat, daerah dengan patriotisme tanpa banding berbondong menyatakan diri teguh dalam persatuan Republik Indonesia. Indonesia bersatu dan terus bersatu karena memang daerah menginginkannya karena daerahlah yang menentukannya. Masih segar pula dalam ingatan kita, ketika pemerintahan pascaperang, terutama di masa orde baru mengucilkan dan menafikkan peran daerah lewat sentralisasi semua kekuasaan di Jakarta. Gerakan reformasi pun terjadi untuk sekali lagi menegaskan daerah harus menjadi aktor atau subyek utama dalam proses dan dinamika kita berbangsa dan bernegara.

Daerah merupakan sumber dari semua kekuatan kita. Tidak hanya untuk bertahan di tengah goncangan dan kompleksitas hidup kontemporer di era global ini, tapi juga menjadi sumber vital dari jawaban-jawaban atau solusi semua masalah kebangsaan dan kenegaraan. Gambaran argumentatif yang tak terbantahkan dalam perjalanan secara panjang bangsa Indonesia menjadi dasar idealistis bagi terbentuknya lembaga baru yang erat terkait dengan daerah dalam segala dimensi bernama dewan perwakilan daerah. Sebuah amanat historis, konstitusional, dan kultural yang diartikulasi oleh reformasi untuk mendudukan kembali secara wajar dan sepatutnya peran penting daerah dalam penataan, pengaturan, dan orientasi kerja kita bersama, para penanggung jawab negara. Kita mensyukuri bersama peran daerah yang direpresentasikan dalam lembaga DPD sudah terukir dalam konstitusi. Dengan kewenangan-kewenangan yang terurai di dalamnya, walau jelas terasa ideal kewenangan-kewenangan itu ditimbang dari konstribusi daerah dalam sejarah republik ini, namun, bagi kami para wakil daerah, hal itu merupakan realitas yang harus diterima. Sehingga artikulasi, dan implementasi kepentingan, serta kebutuhan daerah-daerah harus dilakukan dengan dasar tersebut.

Setidaknya sesuai dengan idealitas yang dicetuskan oleh para pejuang reformasi (the second founding parents) Sic!, di masa reformasi tahun 1998, kita harus menyaksikan dan mengalami lagi betapa bagi daerah setelah sekian lama dinafikkan, diabaikan, bila tidak dapat dikatakan dihina oleh sentralisme kekuasaan di masa lalu ternyata kini masih tetap dikebiri atau dipasung dalam aktualisasi dan pelaksanaan praksisnya. Praksis tersebut sebenarnya sudah terjadi sejak mula diundangkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang pembentukan peraturan-peraturan perundang-undangan. Dua produk regulatif yang telah ditetapkan, bahkan sebelum anggota DPD asli pemilu pertama tahun 2004 dilantik. Kedua undang-undang tersebut karenanya bukanlah merupakan aspirasi sejati dari para wakil daerah dan akibatnya banyak hal yang luput dari kondisi konstitusional yang seharusnya terjadi. Inkonstitusionalitas itu membuat wewenang DPD dalam semua proses legislasi menjadi tidak terlaksanakan dengan baik. Bahkan bisa dikatakan termandulkan hanya lantang digaungnya, tetapi kosong dalam gigitannya.

Proses pembuatan Undang-Undang hampir sama sekali tidak menyentuh DPD. Begitu pun DPD hampir tidak pernah mendapat kesempatan dalam menyentuh proses penting yang menentukan hajat hidup orang banyak, hajat hidup masyarakat daerah. Namun, sekali lagi, dengan kearifan lokal yang kami miliki, situasi yang inferior dan tersubordinasi secara sistemik itu masih kami siasati untuk bekerja secara maksimal. Menggunakan seluruh peluang kewenangan DPD yang serba terbatas demi menjalankan tugas rakyat yang kami anggap sakral. Kami juga tidak henti mengupayakan semacam perubahan konstitusional agar daerah lebih didengar. Walau ternyata pada akhirnya kami harus berhadapan dengan kenyataan di mana resistensi pun terjadi dari kalangan politik membuat perjuangan perubahan konstitusional itu bergerak seperti yoyo, tarik ulur atau tampaknya banyak bergerak, tetapi sebenarnya yoyo statis di tempat yang itu-itu juga. Tetapi, tentu saja bukanlah wakil daerah bila kami mudah saja menyerah. Segala upaya yang mungkin legal dan beradab dilakukan secara kreatif agar Undang-Undang yang mengatur impelementasi kewenangan DPD sesuai dengan amanat konstitusi. Selanjutnya, terjadi perubahan di mana Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2003 berganti menjadi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 dan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 berganti menjadi Undang-Undang 12 Tahun 2011. Walau belum menyentuh mandat konstitusional yang digariskan ada kemajuan konsep keterlibatan DPD dalam law making process dibandingkan dengan Undang-Undang sebelumnya.

Namun, kemajuan kecil itu pun tidak dapat diimplementasikan karena ketidaksepakatan akan makna normatif dari kedua undang-undang baru tersebut di tingkat praksis. Kemajuan regulatif itu pada akhirnya, ibarat kuda berlari kencang sekali, tapi masih di kandang sendiri. Dia hanya tampak berlari, tetapi tidak ada jarak atau ruang yang dilewati. DPD seolah sudah memperoleh wewenang, tetapi sesungguhnya tidak. Karena wewenang tersebut diikat dalam ruang-ruang aktualisasi tertentu dan terbatas saja. Begitu pun di kamar-kamar yang decisive, kamar dimana DPD bisa berlari kencang menuju masa depan membawa aspirasi saudara-saudara kita dari daerah dan dari seluruh pelosok tanah air ternyata tidak dapat kami masuki. DPD masih terpasung dan dari realitas yang ditegaskan oleh konstitusi karenanya kami berpendapat kedua Undang-Undang baru di atas, sebenarnya masih bertentangan dengan konstitusi.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun