Direktorat Jendral Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat, sudah ada ribuan WP yang mengajukan permohonan pengurangan angsuran Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 atau PPh Badan. Hal ini disinyalir sebagai bentuk respon atas kesulitan pembayaran pajak oleh berbagai WP Badan. Di tengah dinamika ekonomi yang terus berubah, penundaan dan pengangsuran pembayaran pajak telah menjadi pokok pembicaraan di kalangan pengusaha dan masyarakat. Dalam upaya mengatasi tantangan finansial yang dihadapi oleh berbagai sektor, pemerintah telah mencoba untuk mempertimbangkan kebijakan yang memungkinkan, seperti penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak. Dalam konteks ini, penting untuk memahami implikasi, syarat, dan manfaat dari kebijakan ini, serta dampaknya terhadap pelaku bisnis dan perekonomian secara keseluruhan.
Apakah pajak bisa diangsur?
Sesuai dengan Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang ada, penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak merupakan bagian dari manajemen pajak. Hal ini ditujukan agar masyarakat merasa tidak terbebani dengan tagihan pajak yang ada. Adapun kebijakan terkait pengangsuran atau penundaan pembayaran pajak tercantum di Pasal 9 ayat (4) UU KUP yang menjelaskan bahwa Dirjen Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda pembayarna pajak paling lama 12 bulan.
Mengapa pajak bisa diangsur?
Namun, tak sedikit dari masyarakat Indonesia yang mungkin bertanya-tanya tentang alasan pajak bisa diangsur atau ditunda. Jawabannya adalah Pemerintah berupaya memberikan keringanan kepada WP yang mengalami kesulitan untuk membayar pajak. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasari mengapa pajak bisa diangsur atau ditunda, antara lain:
- WP mengalami kesulitan likuiditas, yaitu kondisi dimana WP tidak memiliki cukup dana untuk membayar pajak yang terutang.
- WP mengalami keadaan di luar kendali, seperti bencana alam atau wabah penyakit
- Adanya kebijakan pemerintah sebagai respon terhadap kondisi sosial masyarakat, seperti WP UMKM atau WP yang terdampak pandemi COVID-19.
Apa saja Objek Pajak yang dapat ditunda atau diangsur?
Lalu timbul pertanyaan lain, apakah semua jenis objek pajak dapat ditunda atau diangsur? Tentu saja tidak. Hal ini dikarenakan penundaan atau pengangsuran pajak juga berpotensi menimbulkan risiko tertentu, seperti kesulitan dalam pengawasan dan penagihan pajak, peningkatan potensi terjadinya korupsi, serta penurunan kepatuhan pajak. Adapun jenis objek pajak yang tidak dapat diangsur atau ditunda adalah pajak yang bersifat negara, restitusi, sanksi, dan istimewa.Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28/PMK.03/2022 tentang Tata Cara Penundaan dan/atau Pengangsuran Pembayaran Pajak, jenis-jenis objek pajak yang dapat diangsur adalah sebagai berikut:
- Kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan (PPh)
- Pajak yang terutang berdasarkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB)
- Pajak yang terutang berdasarkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
- Pajak yang terutang berdasarkan Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
- Pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah
Adapun jenis pajak yang dapat ditunda adalah Pajak yang masih harus dibayar dalam Surat Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang terutang bertambah
Kesimpulan
Kebijakan pemerintah berupa penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak seharusnya dapat menguntungkan kedua belah pihak jika dapat dilaksanakan secara fair-to-fair. WP tentunya akan terasa nyaman dalam membayar pajak sembari menjaga cash flow. Di sisi lain, Pemerintah masih bisa mendapatkan penerimaan yang bersumber dari pajak. Namun, pelaksanaannya tentu membutuhkan effort yang berbeda daripada tidak melalui penundaan atau pengangsuran. Dengan sinergi antara kepatauhan pajak masyarakat dan akuntabilitas pemerintah, diharapkan siklus pajak di Indonesia dapat terus terharmonisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H