Di suatu malam, saya memutuskan untuk membaca salah satu buku di rak. Dengan pemilihan yang acak, jemari saya mengambil sebuah buku putih-biru berjudul, Connected: Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup, karangan Nicholas A. Christakis seorang profesor sosiologi medis dan James H. F seorang ahli politik jenis baru yang menggabungkan politik dengan sains. Sebuah keterangan pada salah satu bab dalam buku itu membuat saya berhenti beberapa menit, menyimak, bertanya, paham, dan lepaskan.
Itu berkaitan dengan karya Thomas Hobbes, The Leviathan, tentang keadaan purba manusia. Hobbes menjelaskan bahwa alaminya keadaan manusia adalah bellum omnium contra omnes atau perang semua melawan semua. Seabad kemudian pendapat senada mengalir di Perancis, Jean-Jaques Rousseau dalam karyanya yang sangat terkenal, Du Contrat Social, menjelaskan bahwa keadaan alami manusia itu biadab, tanpa moral, penuh persaingan dan saling serang. Dalam keadaan yang suram itu, orang akan memilih menjalin "kontrak sosial" dengan menukarkan sebagian kebebasannya dengan kenyamanan, keadilan dan keteraturan. Dari sana tumbuhlah norma susila, sosial, agama hingga hukum. Inilah yang mungkin disebut-sebut sebagian agama sebagai perjanjian dengan Tuhan sebelum manusia dilahirkan.
Namun manusia modern pada hari ini nampaknya tak semengerti nenek moyang tentang kontrak sosial. Di kalangan kita sendiri sering terjadi pertikaian, konflik, dan peperangan antar suku, wilayah, partai sampai pelajar, sehingga berguguranlah nyawa manusia. Ini adalah bukti bahwa orang-orang mulai menukarkan kembali kenyamanan, keadilan dan keteraturan yang mereka miliki dengan kebebasan mutlak yang telah lama lenyap. Walau saat ini kebebasan belum mencapai definisi 'mutlak', namun bagaimana dengan kemudian.
Beberapa orang yang buta hati dan tuli pikiran malah memperjuangkan kebebasan-penuh mereka mati-matian, mulai dari kebebasan berekspresi, kebebasan berkumpul, kebebasan berpendapat dan sebagainya dengan (lagi-lagi) atas nama hak asasi manusia. Banyak masalah yang mereka timbulkan, dari konflik sektarian hingga pelarian manusia dari kodratnya. Mereka tak tahu bahwa semakin banyak kebebasan yang mereka minta, semakin sedikit kenyamanan, keadilan dan keteraturan yang akan masyarakat peroleh.
Bagaimana menyikapi ini? Buku tadi juga menjelaskannya: satu-satunya cara adalah tetap terhubung. Terhubung dengan siapa saja, keluarga, tetangga, kolega, sahabat hingga teman lama masa TK. Tentu dalam konteks ini terhubung ialah terhubung dengan baik. Dengan tetap terhubung, secara otomatis setiap individu akan mengurangi kebebasan yang mereka miliki dan menukarkannya dengan banyak hal baik. Dekati mereka yang jauh, cintai mereka yang dekat. Saling bertukar-tukaranlah hadiah diantara teman. Bagilah kare ayam tadi sore pada para tetangga. Kunjungi mereka yang sakit dan cerialah dihadapan para saudara.
Silaturahmi secara logis memang benar-benar bisa memperpanjang umur, karena kehidupan kita menjadi terjamin secara jasmani, rohani hingga finansial. Dengan ini, saya benar-benar bersyukur terlahir sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H