Semester 4 ada issue saya akan di-DO.
Lho koq bisa?
Setiap semester, saya selalu mengandalkan beasiswa untuk membayar SPP. Darimana lagi? Tidak ada dana sama sekali. Orang tua saya sudah meninggal dan saya anak tunggal yang dibesarkan oleh nenek buyut. Beliau juga sudah meninggal saat saya kelas 2 SMU. Saat mau masuk SMP-pun saja mencari dana sendiri dengan bekerja di laut mencari ikan, apalagi membiayai kuliah?
Saat itu, ada kesalahpahaman antara Pak Nuh dengan pembantu direktur bidang kemahasiswaan.
Pak Joke Pratilastiarso adalah PD-3 waktu itu, memberikan janji kepada saya, untuk SPP menunggu beasiswa turun dulu. Tetapi ternyata beasiswa turun setelah pembayaran SPP ditutup. Itulah ada rapat direktur, kisaran 12 orang diajukan untuk di DO termasuk saya.
Mendengar saya akan di-DO, ketua senat mahasiswa saat itu langsung rapat dan mungkin akan maju ke Pak Nuh. Dia merasa ada yang salah, mengingat saya mungkin tidak pernah neko-neko dan kebetulan waktu itu jadi Presiden BEM dan aktif di kegiatan masjid.
Tetapi saya coba menenangkan rekan-rekan di organisasi.
Saya sendiri menghadap Pak Nuh bersama Pak Joke, saya bercerita apa adanya tentang beasiswa yang telat. Kebijakan beliau untuk membatalkan saya DO dari kampus merupakan keputusan yang sampai sekarang masih membekas dalam hidup saya. Itu pertemuan dekat saya dengan Pak Nuh yang kesekian kalinya.
Pertemuan berikutnya justru menyangkut pengkaderan.
Dari sekian kegiatan kemahasiswaan, yang paling bertanggung jawab untuk 2 periode kepengurusan yaitu tahun 1998 dan 1999 adalah saya sebagai Presiden BEM. Pengkaderan yang keras selalu berakhir dengan dipanggilnya saya beserta beberapa teman senat menghadap Pak Nuh.
Kadang ada teguran. Kadang kita diajak diskusi agar kita juga memahami keharusan yang sebenarnya wajib kita jalani. Atau sekedar mencoba memberikan kedekatan sebagai seorang bapak kepada anaknya.
Dulu beliau pernah bercerita, bahwa ada mahasiswa yang sebelum kami masuk. Kuliah menggunakan sepeda pancal juga, waktu lulus dan bekerja, dia menjadi orang yang mapan dan sowan ke beliau lalu bercerita tentang keberhasilannya. Bahwa dia sudah bisa mencukupi keluarganya, bisa mengangkat derajat dia dan orang tuanya serta bisa bermanfaat untuk orang-orang disekitarnya.
Semangat dan dukungan beliau sampai saat ini masih saya rasakan.
Kehangatan dalam berbincang, sindiran-sindiran halus yang membuat kami sering mati kutu dan lelucon yang sering menjadi ice-breaker diantara kami -mahasiswa cupu- waktu itu.
Kebanggaan saya bukan karena saya bisa membeli Ferrari Modena yang seharga 4M itu ataupun BMW Z3 yang hanya sekedar untuk dipake beli makan dan punya rumah sendiri di Jakarta.
Tetapi karena saya pernah bertemu dan diajar beliau. Saya bisa bercerita ke beliau seperti kebanggaan mempunyai mahasiswa yang bisa bermanfaat seperti yang pernah dan selalu diceritakan sebelum kami -mahasiswa baru- masuk kuliah.
Seperti keinginan Bapak, bahwa kami harus bermanfaat untuk orang lain. Bahwa kami adalah orang pilihan yang dibiayai oleh negara. Dan bahwa kami adalah calon pemimpin masa depan. Itu selalu saya jadikan cambuk jika saya mulai malas untuk berkarya.
Saat saya sudah lulus, saya tidak pernah absen sekalipun untuk tidak mengahdiri buka puasa bersama di kediaman beliau.
Itu untuk selalu menyambung tali silaturahmi anak dengan bapaknya ataupun seorang murid dengan seorang gurunya.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI