[caption id="" align="aligncenter" width="283" caption="img wordpress.com"][/caption]
Setelah pak Heri dan keluarganya diusir dari kampungku, toh kehilangan uang masih saja tetap terjadi. Malah akhir-akhir ini sangat sering, bisa dibilang setiap hari pasti ada saja yang kehilangan uang selembar atau dua lembar uang bergambar pak Soekarno dan Hatta atau lembaran yang bergambar I Gusti Ngurah Rai..
Warga kembali heboh dan penasaran. Siapakah sebenarnya yang memelihara tuyul itu?
Akhir-akhir ini kampung kami tidak nyaman. Banyak intrik yang terjadi antar warga. Apalagi menjelang pemilihan kades tinggal beberapa bulan lagi. Pak kades sudah menggadang-gadang anak sulungnya untuk menggantikannya. Apalagi pak kades sudah tua dan tak bisa dipilih lagi untuk menjadi kades berikutnya.
Sebenarnya warga tak suka kepada kepala desa yang sekarang ini. Banyak penyelewangan yang dilakukannya dan keluarganya. Banyak dana-dana bantuan pemerintah yang dikorupsi. Tapi warga tak bisa berbuat apa-apa.
Sebenarnya kami punya calon yang mumpuni untuk menggantikan pak kades, tapi sayang orang itu telah diusir dari kampung ini karena kasus tuyul itu. Dialah pak Heri, yang telah difitnah oleh istri pak kades dengan tujuan yang keji yaitu memelihara tuyul. Padahal sejak pak Heri diusir uang warga masih saja selalu hilang.
Aku mendengar kasak-kusuk dari para ibu-ibu biang gosip, bahwa memang keluarga pak kades sudah merencanakan untuk menyingkirkan pak Heri agar tidak menjadi saingan anaknya nanti di pilkades beberapa bulan yang akan datang.
Aku adalah warga yang tidak terlalu peduli dengan intrik politik yang ada di kampungku. Namun naluriku terusik manakala kekejian dan keculasan telah menimpa seseorang demi ambisi.
***
Malam ini aku kena giliran ronda malam. Kami hanya berempat, kang Bejo, pak Ramli hansip desa dan mang Udin. Malam belum terlalu larut masih sekitar pukul 11 malam. Aneh tak biasanya malam ini terasa amat dingin. Sarung yang kubawa kulilitkan ke kepala sampai leher hingga menutupi kupingku yang sudah hampir mengkerut karena kedinginan.
“Kamu kok malah mirip maling gitu, pake ditutupi sarung kepalanya,” mang Udin nyerocos mengejek ku. Aku hanya nyengir.
“Bukan maling malah mirip pocong” kang Bejo menimpali. “Waduh kang ini malam jumat jangan sebut-sebut namanya” kataku agak bergidik.
Mereka hanya tertawa-tawa makin mengejek aku.
“Dasar penakut, nanti kamu sendirian ya muterin kampung lewat kuburan” kata pak Ramli.
Aku menyesal tadi kenapa gak kubayar saja pak Ramli ini supaya aku bebas ronda malam ini. Memang biasanya aku malas kalau di suruh ronda bagusan aku membayar pak hansip. Tapi malam ini aku lagi ingin ronda karena istriku ngambek di rumah dengan alasan yang tak jelas. Biar saja istriku sendirian tidur malam Jumat ini.
“Sebenarnya siapa yang memelihara tuyul di kampung kita ya?” kataku mengalihkan pembicaraan soal patroli tadi.
“Wah kalau menurut penerawangan saya, banyak warga yang memelihara tuyul. Bukan pak Heri saja. Bahkan menurut gosipnya pak kades juga pelihara tuyul” Kata mang Udin sok jadi ahli nujum.
“Jangan sembarang nuduh mang Udin, bisa gawat nanti kalau di dengar pak kades.” Kata pak Ramli membantah omongan mang Udin. Mang Udin terdiam kelihatannya dia takut kalau apa yang diucapkannya tadi disampaikan ke pak kades.
“Saya rasa tuyulnya itu diri kita sendiri” kata kang Bejo.
“Maksudnya apa kang?” tanyaku penasaran.
“Coba pikir, kita semua merasa kehilangan uang dan heboh menuduh orang lain. Ada satu orang kehilangan yang lain ikut-ikutan kehilangan. Entah benar hilang uangnya atau tidak kita juga tidak tahu kan?” kata kang Bejodengan mimik yang serius.
“Mungkin saja yang mencuri uang kita itu anak kita,,istri kita, ya bahkan diri kita sendiri.” Kata kang Bejo lagi. Kang Bejo memang sedikit bijak dibanding dengan warga yang lain. Walaupun dia tidak makan bangku sekolahan, tapi kata-katanya sangat bijaksana dan mengandung nilai-nilai kebenaran.
“Sebaiknya kita minta bantuan orang pintar untuk menangkap tuyul itu” kata mang Udin.
“Dukun maksudnya? Gak,gak, syirik itu. Mau mang Udin gak diterima sholatnya 40 hari 40 malam?” kataku menasehati.
“Walah sok ustadz kamu, wong kamu jadi panitia pembagian daging sapi kurban saja kamu korupsi kok, malah nasehati orang lagi” Mang udin sewot.
“Waduh jangan fitnah ya mang Udin, kan mang udin yang minta supaya jatahnya di bagikan untuk istri mang Udin yang dikampung sebelah” kataku membongkar rahasianya juga.
“Eh jangan bilang-bilang sama istriku ya nanti bisa gawat aku.” Mang Udin ketakutan senjataku mengena sasaran.
“Makanya jangan nuduh sembarangan.” Aku puas mang udin tak bisa berkutik.
“Kan ada dukun yang gak syirik.” Kata mang Udin lagi gak mau kala.
“Dukun ya syirik mang Udin, mana ada dukun gak syirik.” Kataku sengit.
“Waduh kurang pergaulan kamu, makanya jangan ngendon di rumah saja. Itu Mbok Paijem kan dukun juga,” kata mang Udin sambil terkekeh.
“Waduh mang, mang, Mbok Paijem kan dukun beranak ya gak syirik lah”. Kami semua tertawa geli mendengar pernyataan mang Udin.
“Udah sana kamu keliling sendirian di ujung kampung dekat kuburan” kata pak Ramli menyuruh aku patroli.
“Ampun pak?” kataku memelas. Kelihatannya pak Ramli masih dendam karena malam ini aku tidak membayarnya, malahan aku ikut gabung ronda malam.
***
Medan - 02032013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H