Kakek bertelur dan gubernur DKI tandingan (Sumber gambar: (edited pribadi) Tua-tua keladi, semakin tua semakin menjadi itulah peribahasa yang tepat untuk menggambarkan tingkah pola orang-orang tua yang masih saja mencari kepuasan duniawi. Semakin tua bukannya semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Malahan melakukan tingkah yang aneh-aneh demi kepuasan ketenaran semu yang menjadikan dirinya semakin "mabuk". Lihat seja kelakuan kakek Simin yang berdomisili di Jakarta yang mengaku bisa bertelur. Sempat membuat heboh Jakarta. Padahal kelakuannya itu dicibir orang di seantero Indonesia. Pihak medis dan laboratorium telah memeriksa bahwa telur yang katany keluar dari "dubur" kakek Simin ini ternyata telur ayam biasa. Pihak aparat pun tidak bisa menangkap atau memberikan hukuman kepada kakek bertelur ini (Kakek Simin). Dakwaan seharusnya bisa dikenakan kepada kakek ini atas tindakannya melakukan penipuan publik. Namun karena aparat hukum di Indonesia masih banyak pekerjaan besar dan belum selesai dikerjakan, maka urusan remeh-temeh kakek bertelur ini pun luput dari jerat hukuman. Tindakan aparat hukum yang tidak proaktif terhadap kasus-kasus penipuan publik ini akan memicu munculnya kakek Simin kakek Simin yang lain dengan fenomena menakjubkan lainnya. Padahal kemungkinan besar itu hanya hoax. Demikian juga dengan gubernur DKI tandingan (baca gadungan), mungkin ingin terkenal atau karena didukung oleh FPI yang notabene sering melakukan tindakan kontrofersial ini menjadikan kakek Fachrurrozi Ishaq berani menyebut dirinya sebagau gubernur DKI tandingan. Seperti halnya dengan kakek Simin, aparat hukum juga tak menindak gubernur tandingan ini. Padahal bisa saja dia dikenakan kasus penipuan publik dengan mengaku-ngaku sebagai gubernur. Tetapi ternyata penipuan publik belum ada ayat dan pasalnya dalam KUHP maupun UU ITE. Pasal yang ada hanya berkaitan dengan penipuan yang mengambil keuntungan berupa materi seperti uang atau hutang. Tindak pidana ini dikenal dengan nama penipuan yang diatur dalam Pasal 378 KUHP:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.”
Seharusnya anggota dewan terhormat bisa merevisi UU KUHP ini atau membuat yang baru. Bukan malah merecoki kerja Pemerintahan Jokowi dengan koalisi-koalisi yang akhirnya mau bubar sendiri. Ya, karena hukum itu bisa mengenai anggota dewan yang kadang melakukan penipuan publik juga makanya hal itu tidak mereka lakukan. Nah, disini ada cela jika ingin gubernur gadungan ini ditangkap polisi. Jika dia meminta uang iuran warga dan menggunakan jabatan palsunya untuk meminta uang atau materi barulah dia bisa dihukum sesuai pasal 378 KUHP itu. Tapi setahu saya setiap blusukan gubernur tandingan ini selalu mendapatkan makanan dari warga seperti tempe,es dawet,kolak pisang dan lain-lain. Apakah itu bukan termasuk menggunakan jabatan palsu untuk mendapatkan keuntungan pribadi...wkwkwk ? (sumber). Salam Kompasiana. Referensi: http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt528c8e48c4ed3/berbohong-di-depan-publik,-dapatkah-dipidana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H