[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Presiden Jokowi bersama Ibu Mega dan Pak JK (Sumber foto: Kompas.com)"][/caption]
Akhir-akhir ini banyak relawan dan para pendukung Jokowi yang merasa kecewa dengan kebijakan Pak Jokowi terkait masalah polemik dan kemelut pencalonan BG. Masalah pun merembet dengan tuduhan bahwa ppak Jokowi tidak tegas dan ditekan leh parpol pengusungnya yaitu PDIP. Opini meluncur deras dengan hujatan dan ejekan. Bahkan tuduhan keji sempat terlontar dari salah seorang Kompasianer di status facebooknya yang mengatakan Pak Jokowi “paok” (dalam bahasa Medan artinya bodoh bin goblok alias tolol).
Padahal kalau dirinya tidak paok dan merasa paling pintar kenapa tidak dia saja yang jadi presidennya? Malahan saya lihat nasib orang yang mengejek Presiden Jokowi itu tidak lebih baik daripada saya. Saya bukannya terlalu membela pak Jokowi. Saya sadar bahwa semua yang dilakukan Presiden itu tak bisa memuaskan semua pihak. Saya pernah mencontohkan kebijakan orang tua yang punya 5 orang anak, pastilah kebijakannya itu tak bisa memuaskan seluruh anak-anaknya yang berjumlah 5 orang itu. Konon lagi seorang Presiden yang mengayomi 200 juta rakyat Indonesia tak mungkin semuanya terpuaskan.
Ada wacana bahwa Pak Jokowi mengalami tekanan dari PDIP melalui petinggi Partai yang tercermin dari pencalonan BG. Kemungkinan ada peran Ibu Megawati di sana. Lalu para relawan dan pendukung jadi sibuk dan gerah karena diejek para hater yang menuduh pak Jokowi tak tegas dan benar hanya sebagai petugas partai. Parahnya tuduhan presiden “boneka” yang dulunya sudah dihembuskan semakin memperkuat ejekan itu. Tak ayal hal ini membuat sebagian para relawan dan pendukung patah arang dan menyarankan pak Jokowi untuk “hengkang’ dari PDIP.
Sebenarnya kata hengkang ini tidak murni terucap dari para relawan dan pendukung. Bahkan para hater juga gencar mengusulkan Pak Jokowi untuk hengkang dengan bibir sedikit tersungging (dengan pandangan mengejek). Bahkan saya membaca di suatu grup pendukung Presiden Jokowi untuk membuat partai baru. Sunguh suatu usulan yang kelihatannya madu namun pada intinya adalah racun untuk Presiden jokowi.
Menurut saya pak Jokowi janganlah jadi kacang lupa akan kulitnya. Philosofi ini jelas tergambar dari sifat kebathinan seorang ksatria Jawa tulen. Seperti yang saya baca dari status facebook Pak jokowi beberapa hari ini dalam pepatah jawa yang sangat dalam maknanya: “Suro diro jayaningrat, lebur dening pangastuti” atau dalam bahasa Jawa kunonya “Sura sudira jayanikang rat, swuh brastha tekaping ulah dharmastuti”
Artinya : Bahwasanya, betapapun hebatnya seseorang, saktinya mandraguna kebal dari segala senjata, namun manakala dalam lembaran hidupnya selalu dilumuri oleh ulah tingkah yang adigang-adigung-adiguna maka pada saatnya niscayalah akan jatuh tersungkur dan lebur oleh ulah pakarti luhur.
Pepatah Jawa itu mungkin ditujukan untuk Presiden jokowi sendiri yang tak mau melakukan aji mumpung menjadi Presiden dia akan bertindak semaunya atau semau gue. Bisa saja sih Pak Jokowi hengkang dari PDIP kalau merasa tertekan atau membuat Partai sendiri. Tapi hal itu akan membuat dirinya bersifat adigung adiguna dan melakukan tindakan yang lupa kacang akan kulitnya.
Lagian tak ada untungnya Pak Jokowi “mengkhianati” PDIP yang telah membesarkan namanya. Malahan jika Pak Jokowi menuruti kata-kata orang yang menyarankan beliau meninggalkan PDIP maka mereka akan bersorak sorai dan bergembira karena telah berhasil menjerumuskan pak Jokowi kejurang kehancuran baik dalam karir Presidennya yang mungkin tak berumur panjang karena PDIP pastinya akan menjadi oposisinya bahkan akan melebur bersatu dengan KMP untuk melakukan perlawanan kepada pak Jokowi. (Ini jebakan kedua jika pak Jokowi menuruti nasehat konyol ini).
Dalam tulisan saya terdahulu ada juga menyarankan agar pak Jokowi mencontoh Ahok. Setelah saya merenung cukup lama saya menyadari bahwa Ahok dan Jokowi mempunyai ikatan bathin yang berbeda kepada partai Politik yang mengusung mereka berdua. Kenapa Ahok bisa dan berani hengkang dari Gerindra? Beda Ahok beda pula Jokowi. Ahok bukan murni berasal dari gerindra. Ahok dulunya adalah kader Golkar yang meloncat ke Gerindra demi karir untuk menjadi Gubernur DKI. Lagian level Ahok saat menjadi Plt Gubernur dan dia hengkang tak ada pengaruh yang signifikan karena sifatnya lokal. Lagian Ahok secara defacto banyak didukung oleh PDIP di DPRD Jakarta. Bahkan ada isu bahwa Ahok bakalan meloncat ke PDIP untuk bisa mencalonkan diri jadi RI-2 tahun 2019 mendampingi Pak Jokowi utnuk periode kedua. Nah inilah salah satu keuntungan jika Pak Jokowi tidak keluar dari PDIP. Jokowi-Ahok bisa berpasangan untuk memimpin Indonesia tahun 2019-2024 mendatang.
Insya Allah saya berharap Pak Jokowi bukan kacang yang lupa kulitnya. Kemelut Partai bisa dibicarakan dengan baik-baik kepada Ibu Megawati Soekarno Putrin yang masih saya anggap sebagai negarawan yang besar saat ini. Tak sia-sia Presiden Soekarno membesarkan beliau dan tetap mewarnai perpolitikan di Indonesia. Ibu Mega pastilah tidak akan memaksakan kehendak untuk menekan pak Jokowi dalam pencalonan Kapolri ini. Jangan takut dituduh bahwa Jokowi petugas partai karena memang realitanya Pak Jokowi adalah kader terbaik PDIP yang berhasil menduduki jabatan tertinggi di negeri ini yaitu Presiden Republik Indonesia.
Jika dituduh Presiden boneka biar saja, karena sebagai manusia diri kita sejatinya juga hanya sebagai boneka atau wayang-wayang yang digerakan oleh Sang Dalang Yang Maha Agung Tuhan Yang Maha Esa. Sampai pada masanya kita akan dimasukkan kedalam kotak (baca kuburan) dan habislah peran kita di dunia ini.
Bagi yg tak sempat membaca bisa lihat dan dengarkan di sini.
Salam Damai Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H