Mohon tunggu...
Satria Gumilang
Satria Gumilang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang yang Dibunuh Oleh Sepi [Part 2]

30 September 2012   10:56 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:27 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari pertama menuju tanda tanya, pun untuk mencari sebuah jawaban. Akhirnya hari dimana saya akan bertemu dengannya telah tiba. Dengan segala keraguan dan ketakutan yang ada, saya mencoba untuk berbesar hati, menguatkan diri untuk membuka pintu ekspektasi selebar-lebar mungkin.

Tak pernah tahu apa yang akan terjadi ketika ia melihat saya nanti, ketika ia melihat seseorang yang pernah ia kenal berdiri di depan pintu kamarnya sembari terpaku dan menahan diri dari segala rasa pedih di dada. Namun waktu terus menipis, dan saya tak ingin menyia-nyiakan sisa waktu yang ada.

Beranjak dengan tergesa-gesa, seolah tak ingin ada satu peristiwa pun tentang dirinya yang terlewat dari pandangan. Mengisi diri dengan cara menyemangati hati, agar tak ragu-ragu dan tak kunjung mundur. Suara mesin jalanan kian terselubung, tertutupi oleh isi pikiran, walaupun entah apa yang saya pikirkan.

Sesampainya di rumah tujuan, kemudian masuk dan duduk di ruang tamunya, ditemani oleh seorang ibu yang terlihat sedang gelisah, tak mampu berkata-kata, bahkan perempuan itu hanya bisa menjatuhkan air mata di hadapan saya. Di situ, terlihat seorang ibu yang tak mampu berbuat banyak dengan bibir dan tubuhnya. Hal yang mampu ia lakukan hanyalah mengambil berlembar-lembar tisu dari atas meja dan mengusap kelopak matanya yang basah akibat air mata. Lantas, apa yang bisa saya lakukan dan katakan? Tak ada. Sebab saya pun terlena dengan isarat kesedihan yang terpancar dari isak tangisnya.

Mungkin ini masih belum waktu yang tepat untuk bertemu dengan sahabatku yang hilang, pikirku. Namun seketika ibunya tersenyum manis sembari memberi tanda bahwa ia membolehkan saya untuk bertemu dengan anaknya. Dan mempersilakan saya untuk menunggu sebentar. Maka saya akan setia menunggu.

Pada saat itu, ruang tamu serasa seperti ruang tunggu. Suara gerak kipas angin yang berputar perlahan, dan terus berputar perlahan-lahan di atas kepala, justru membuat suasana semakin sesak. Akhirnya saya memutuskan untuk menunggu diluar, menghela nafas dari ketegangan yang terjadi di ruang tamu tadi. Lalu saya melihat sepasang sepatu yang sudah berdebu, seperti tak pernah dijenguk oleh pemiliknya. Dan itu adalah sepatu miliknya. Dua puluh menit lebih saya berdiri tanpa lelah, juga tanpa kehilangan kesabaran. Lalu turunlah ibunya dari tangga, memberi tanda lampu hijau untuk bertemu dengan anaknya, yang juga sahabat saya.

Dengan hati-hati kaki saya melangkahi setiap anak tanggga, dan dengan hati-hati pula saya akan memulai dengannya.

Pintu kamar terbuka, saya tertahan sebentar di tiga puluh centimeter sebelum pintunya, menyusun rencana demi kesan pertama yang baik di matanya, namun itu hanya terjadi selama lima detik, dan saya memutuskan untuk menjadi apa adanya saya.

Langkah pertama memasuki kamarnya, juga pandangan pertama menatap matanya. Sungguh, saya merasakan adanya kegembiraan sedang mendekati saya. Ia masih sahabat saya, tubuhnya tak berbeda dari terakhir kali saya bertemu dengannya. Bahkan ia menaikan kedua sudut bibirnya dan tertawa namun tak terbahak-bahak. Ia terduduk di atas kasurnya yang juga di atas lantai kamarnya, dan saya tak tahan untuk segera duduk di sampingnya, menyentuh tubuhnya, dan mengusap punggungnya, sebagai tanda bahwa, "semua akan baik-baik saja".

Namun, ia tak berbicara sedikitpun, ditundukkan wajahnya kebawah, tersenyum kecil, namun tetap tak bergeming. Saya mencoba untuk menanyakan kabarnya, tetapi ia hanya membuka mulutnya saja, tanpa ada suara. Lalu saat itu saya menyadari kelemahan diri saya, bahwa saya berada dalam keadaan yang masih tak sanggup untuk menerima kenyataan, bahwa sahabat saya telah lupa bagaimana caranya untuk berbicara. Ia tak mampu untuk mengeluarkan suara, ia hanya bisa mengangguk sebagai tanda iya, dan menggelengkan kepala sebagai tanda tidak. Ia hanya mampu mendengar, namun tak semua perkataan saya dapat ia pahami.

Kini, sahabatku, ia seperti gelas yang kosong, dan hanya berdenting ketika disentil, selebihnya, kaku dan tak bergeming. Ya Tuhan, isyarat apa yang sedang Engkau coba untuk katakan? Mengapa sampai begini? Beginikah caramu menyayanginya? Tolong mudahkan cobaannya, jangan kau biarkan saya melihatnya seperti ini, Tuhan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun