Mohon tunggu...
Satria Gumilang
Satria Gumilang Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Menulis untuk keabadian.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kembali Menginjak Kenyataan [Part 3]

27 November 2012   07:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:36 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kabar demi kabar bertandang ke telingaku. Tentang sebuah hati yang tadinya luluh, kini kian berangsur sembuh. Sahabatku, belum pernah aku dapatkan seseorang yang seperti dia. Yang terbangun hanya untuk menatap pagi, dan menanti sampai tenggelam lagi. Namun tak pernah putus asa, ia bergerak perlahan, dibimbing oleh ibunya, sampai berdiri, dan lantai demi lantai bisa dilangkahinya dengan mudah, tanpa harus dituntun, tanpa harus merasa bingung.

Tadi, aku bersama kedua sahabatnya juga, kembali menengok masuk kerumahnya. Untuk melihat keadaan tubuhnya, dan menatap ke dalam dirinya. Sebelumnya memang aku sudah memberi janji kepadanya bahwa aku akan datang untuknya, dan ia membalasnya dengan ramah. Kata per kata ia tulis melalui telepon genggamnya, dengan lancar ia bercanda, persis seperti dia sebelum menjadi seperti ini. Dan aku menerima pesannya dengan penuh ketertarikan, "Cepat sekali kemajuannya, apa sudah benar-benar sembuh ya?" kataku di dalam hati. Jika ditelaah dari kalimat-kalimat yang ia tulis, ia seperti orang yang sedang merindu untuk berbicara, berkeluh kesah, dan bertukar cerita dengan temannya. Maka, atas alasan itulah aku bisa sampai di depan gerbang rumahnya sore tadi.

Belum terlalu malam dan sudah terlampau siang, matahari mengumpat di balik atap rumahnya, dan langit kian surut bersamaan dengan kekhawatiranku kepadanya. Ku berseru di depan rumahnya layaknya seorang tamu. Ku berdiri bersandar di arus angin yang agak kencang, sepertinya mau hujan. Kemudian, sekitar 5 menit setelah aku dan kedua sahabatku menunggu, terdengarlah bunyi kunci pintu yang membuka, dan terdorong perlahan ke dalam, hingga terkuak sekujur tubuh seorang lelaki yang tadi membuka pintu. Dan lelaki itu tak lain adalah sahabatku sendiri, sahabatku yang kukira masih terbaring di atas kasurnya seperti terakhir kali aku menjenguknya, masih kaku dan tak mampu menggerakan tubuhnya dengan baik. Dengan mengenakan sandal dan menuruni 3 anak tangga menuju pintu gerbang yang terbilang tinggi, ia membukakan pintu sambil berkata, "Ayo masuk-masuk." dan aku menyalami tanggannya secara spontan, menatap matanya sambil tersenyum lebar pertanda kepuasan diri atas kemajuan yang terjadi dengannya.

"Mau duduk dimana nih?" tanyanya, "Yah, yang bisa ngerokok aja.." sahut temanku yang lain, dan kami memutuskan untuk mengistirahatkan bokong kami di atas sofa ruang tamunya. Dengan penuh kagum aku hanya bisa menatapnya sambil melebarkan sudut bibirku ke atas. Sambutan yang ia lakukan tadi merobohkan pertanyaan-pertanyaan yang akan aku lontarkan kepadanya. Aku diam tak punya bahan pembicaraan, selain, "Tangannya masih suka gemeteran?" dan jawabnya, "Hmm.. Enggak tau... masih, kayaknya." Setelah mendengar jawabannya itu, aku selintas seperti burung besar yang sedang terbang dan tiba-tiba terjatuh meluncur ke tanah akibat tertembus peluru yang panas. "Loh, kok beda dengan dia yang tadi? Kemarin waktu dia kirim pesan enggak begini." tanya di dalan hatiku, sebab memang jelas sekali perbedaannya. Dengan bicaranya yang begini, ia tak ada bedanya seperti pertama kali aku bertemu dengannya. Linglung dan tak punya gairah hidup. Tetapi, aku terus meyakini diri bahwa ini hanyalah bentuk 'pertahanan' atas dirinya yang sedang kaget setelah bertemu dengan sahabat-sahabatnya. Ditambah seorang temanku berkata, "Kata ibunya dia emang gitu, nanti kalo udah lebih dari 3 jam baru dia bisa ngobrol lancar." Baiklah, dan atas dasar itu juga kami bertiga memutuskan untuk mengajaknya pergi makan di luar, agar dia bisa terbiasa dengan kami dan kami semakin mengerti dengan keadaannya.

Sesi makan malam berjalan lancar. Kami berempat bersuka duka layaknya tak pernah terjadi apa-apa. Begitupun dengan dirinya, memesan makan yang sama seperti yang ku pesan, dan meminum es teh manis menggunakan sedotan. Ia menyuapi mulutnya sendiri dengan perlahan, mengunyah daging iga dengan lahap. Yang menarik dan menurut saya lucu adalah, 3 orang di antara kami adalah lelaki perokok, termasuk juga dirinya. Namun, sudah 6 bulan semenjak sakit ia tak pernah lagi mengecup filter yang ada di rokoknya. Sehabis kami makan, aku dan temanku membakar rokok, dan temanku berkata, "Lo mau ngerokok?" ia mengangguk dan ragu-ragu berkata, "Mau. Hmm.. Enggak. Kayaknya mau deh." Dan tanpa ragu-ragu temanku menghelaikan tangannya yang menggenggam sebungkus rokok menthol, dan disambut olehnya. Tanpa pikir panjang ia membakarnya, menghisap dan menghembuskan asapnya ke udara. Hampir girang aku melihat gayanya yang sedang merokok. Menumpukan sikutnya di atas meja makan, menyelipkan sebatang racun di antara jemarinya. Persis, seperti orang yang sehat, jasmani dan rohani. Merokok tanpa beban. Mungkin ini sebuah hadiah dari kami untuknya atas kemajuannya. Sepuntung racun di satu malam, diantara ratusan obat-obat mahalnya. Setidaknya kami meyakini bahwa rokok adalah obat anti depresan yang paling manjur, setelah obat.

Dan tibalah waktu dimana kami memulangkan tubuhnya kerumah, agar ia bisa beristirahat. Lagipula ia terlihat sangat mengantuk, matanya mulai redup seiring dengan nyala sang langit. Aku mengucapkan selamat tinggal, selamat tidur, sampai bertemu lagi, dan kami semua mengharapkan kabar baik selanjutnya. Lalu malam tak seperti biasanya, malam ini terasa lebih baik dari malam-malam sebelumnya.

Setidaknya aku puas, telah melihatmu kembali menginjak kenyataan. Selamat datang sahabatku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun