Di sebuah hari yang dimulai dengan kecemasan, kegelisahan tentang persahabatan, yang membuat saya semakin sulit bernafas, haru bercampur kalut, sehingga sulit untuk saya menceritakan bagaimana rasanya menjadi seorang teman yang masih bisa tertawa, sedangkan sahabatnya di sana sedang berbaring diam dalam hening pikirannya dan kian bergelut dengan segala tekanan yang ada di hidupnya.
Sahabat bahkan lebih seperti saudara adalah sosok yang tak pernah luput dari ingatan. Ketika saya mendengar kabar yang tak mengenakan tentang dirinya, membuat saya meringis, seolah saya sedang mencekik leher sendiri. Bagaimana bisa saya membiarkan seseorang yang saya sebut sebagai sahabat kehilangan jati dirinya. Dan membiarkan ia memungut pecahan pikirannya yang telah tersebar dan berserakan, sedangkan menggerakan jari pun ia tak sanggup, bahkan berdiri pun selalu dituntun.
Saya tak perlu menjelaskan mengapa ia begini, sebab keadaannya lah yang telah mendefinisikan dirinya sendiri, keadaan dimana para psikolog menyebutnya dengan istilah, depresi. Mungkin saya memang belum pernah menjadi dirinya, mungkin juga saya belum pernah merasakannya, namun kini, atas nama segala kepercayaann yang ada di dunia ini, saya sangat ingin menjadi dirinya, bertukar tempat dan keadaan dengannya, merasakan apa yang ia rasakan, ia pikirkan, dan ia sedihkan.
Mungkin esok waktu berkenan untuk membiarkan saya bertemu dengannya. Karena saya ingin menatap kosong matanya dan memberinya tatapan penuh, agar sorot matanya dapat terisi dan jiwanya tak lagi sepi.
Esok, semoga menjadi awal yang baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H