Ayah, sungguh aku ingin berkata, Â
Darah yang kau alirkan di tanah ini, Â
Untuk apa sebenarnya? Â
Jika hanya menjadi saksi perjuangan yang kini ternodai. Â
Kata ibu, kau pergi dengan tekad baja, Â
Meninggalkan aku yang masih berumur tiga. Â
Meninggalkan adik yang bahkan belum tahu dunia. Â
Kata ibu, kau lawan peluru tanpa gentar, Â
Demi sebuah mimpi: Merdeka. Â
Tapi, Ayah, lihatlah sekarang, Â
Apa arti kemerdekaan yang kau perjuangkan? Â
Gedung megah berdiri dengan sombong, Â
Dihuni oleh para tikus yang menjual negeri ini begitu murah. Â
Mereka bilang ini tanah merdeka, Â
Tapi, Ayah, ke mana hilangnya harapan itu? Â
Petani memeras keringat untuk sesuap nasi, Â
Sementara tikus-tikus itu hidup berlapis kemewahan dan janji manis. Â
Aku ingin memahami, Ayah, Â
Namun semakin aku mencoba, Â
Semakin terasa sia-sia pengorbananmu, Â
Tenggelam dalam lumpur korupsi yang tak pernah surut. Â
Ayah, perjuanganmu hanya menjadi cerita, Â
Dibicarakan di podium-podium politik yang penuh dusta. Â
Namamu disebut untuk menggugah emosi sesaat, Â
Namun esoknya mereka kembali lupa. Â
Aku marah, Ayah, bukan padamu, Â
Tapi pada mereka yang dengan mudah menghancurkan warisanmu. Â
Keringat dan darahmu tidak pernah dihargai, Â
Hanya menjadi alasan untuk mereka menguasai. Â
Ayah, maafkan aku, Â
Jika aku mengatakan ini padamu. Â
Semua pengorbananmu, Â
Ternyata hanya menjadi bayangan kosong di dunia ini. Â
Namun, Ayah, aku tak ingin menyerah, Â
Meski keadilan tampak terlalu jauh. Â
Aku ingin percaya, meski sulit, Â
Bahwa suatu saat, perjuanganmu akan berarti. Â
Tapi hingga hari itu tiba, Â
Izinkan aku berkata jujur padamu: Â
Sungguh, aku tak mengerti, Ayah, Â
Bagaimana semua ini bisa terjadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H