Tanah moyangku mulai retak seribu, tanahnya kering dan jalannya berdebu, sekelompok orang berkuasa di atas tanah moyangku, mengikis dan mengeruk sedikit demi sedikit hasil buminya.
Anakku menangis tidak minum susu, badannya kurus karena kekurangan gizi, cerobong asap pabrik menghitamkan negeri ini, kami hanya bisa menonton, sedangkan anak kami menjerit karena lapar.
Sudah berpuluh tahun negeriku dikeruk oleh mereka, katanya kami merdeka, katanya kami sejahtera, padahal air ludah sering menetes melihat mereka makan dengan daging dan fasta, sedangkan kami hanya makan asap dan limbah.
Dulu tanah itu tanah moyangku, kini tidak lagi, pendahuluku terlalu silau dengan godaannya, hingga lupa bahwa pusaka tergadai dan punah, kini kami hidup dalam derita yang lama.
Tanah yang dulu basah, kini sudah mulai pecah, kekeringan. Apalah daya, mereka sudah tertawa bahagia menikmati isi alam kita, hijau daunnya saja untuk kita, uangnya mereka bawa ke negeri mereka.
Sei. Likian, 05-September-2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H