Mohon tunggu...
Nailul Fauziah
Nailul Fauziah Mohon Tunggu... -

Seorang yang bermimpi jadi penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dialog Cahaya Lampu dengan Gadis Sufi

12 Februari 2015   17:14 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:20 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Duhai cahaya malam yang menemani gelapku, apa kalian tidak lelah menatapku? Mengawasiku di balik jendela berdebu, memberi sapaan salam dengan kerlingan bergantian, seolah memberi tahu kalian bahwa ada seorang gadis yang setiap malam menatap langit sendirian, menikmati pemandangan jalanan raya yang ramai, dihujani lampu jalan yang berwarna warni, menyempurnakan keindahan kota malam hari.

Setiap malam, di bawah temaram cahaya lampu kamar, aku biasa duduk sendirian sampai waktu menghabisiku atau sampai jenuh menyergapku baru kemudian aku berhenti dan menutup jendela, menarik selimut dan berdo’a semoga besok ada keajaiban yang tidak terduga.

Cahaya lampu jalan memanggilku, melontarkan pertanyaan yang mungkin setiap orang yang melihatku setiap malam akan bertanya hal yang sama.

“Apa yang sedang kau lakukan gadis? Setiap malam menghabiskan diri bertafakur dengan malam dalam diam, apa kau tidak punya PR sekolah, apa kau tidak bercengkrama dengan keluargamu? Atau menghubungi kekasih hatimu? Atau dan atau”...

Aku tersenyum melihat cahaya lampu yang masih bingung menatapku.

“Aku sedang berkontemplasi”

Jawabku pada cahaya lampu.

“Aku tak punya keluarga, sejatinya aku terlahir ke dunia ini hanya sedang mengembara, mencari jalan untuk pulang, aku hanya di titipkan pada dua orang keluarga yang sangat baik dan terhormat, mereka menyayangiku seolah-olah aku ini barang milik mereka seutuhnya, mereka takut kehilanganku, mereka sangat perhatian dan peduli yang berlebihan dan itu membuatku takut dan akhirnya aku kabur dari rumah, aku kabur dan mendapati diriku telah sampai pada jalan untuk pulang.

Seperti mendapati sedikit pencerahan dari jawabanku, cahaya lampu mengangguk sesaat, sejurus kemudian ia melanjutkan pertanyaan berikutnya.

“Lalu kenapa kau sering menatap langit, seolah berharap akan ada seseorang turun dari langit, seperti mengharapkan sesuatu?”

Aku kembali tersenyum menerima pertanyaan yang kedua.

“Aku hanya sedang berpikir bagaimana jika ketika aku lahir dulu aku tidak mengenal Tuhan, bagaimana kekasih kita Nabi Ibrahim dulu bersusah payah mencari Tuhan, mencari-cari dari setiap ciptaanNya yang agung, dan bisa mencapai titik transenden dengan Tuhan karena usaha pencariannya bukan karena sudah terlahir dari ayah dan ibu yang mengenal Tuhan”.

“Aku hanya merasa takut tak menemukan jalan pulang menuju Tuhan” lanjutku.

Saat mendengar jawaban terakhirku akhirnya cahaya lampu berani mengeluarkan pendapatnya.

“Gadis, memang hidup pada zaman sekarang berbeda sekali dengan zaman dulu, aku pun ikut khawatir melihat Umat Muhammad semakin hari sudah tidak manusiawi lagi, sudah tidak kutemukan lagi manusia yang memiliki hati baik sedikit saja, hati mereka sudah terampas oleh dunia, keindahannya, sampai mereka lupa bahwa mereka semua hanya mengembara, dan mereka suatu saat akan pulang”.

Melihat cahaya lampu yang mulai sedikit redup membuatku meneteskan airmata.

“Kenapa menangis gadis, apa aku salah bicara?”

Cahaya lampu merasa bersalah.

“Tidak, bukan karena pembicaraanmu, hanya saja melihatmu sudah semakin redup membuatku takut, suatu saat atau bahkan sebentar lagi usiaku akan menua, dan aku pun akan redup sepertimu, dan saat itulah aku pulang menghadap Tuhan”Jawabku

“Kenapa harus takut, bukankah pulang adalah tujuanmu selama ini?”Tanya cahaya lampu heran.

“Tidak, tujuanku bukan semata-mata pulang, tapi tujuanku adalah bagaimana aku bisa pulang memberikan hadiah terbaik untuk Tuhan, dan Dia akan bahagia menyambut kedatanganku”

Masih menatap langit malam, kulihat cahaya lampu semakin meredup perlahan, saat jam tepat menunjukkan pukul 12 malam, aku menangis sejadi-jadinya, karena malam telah benar-benar gelap dan kelam....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun